PENDAHULUAN

 

0.1       Dengan menerima peraturan bersama tentang hidup, atau Konstitusi ini, kita mencangkokkan hidup dan pribadi kita ke dalam hidup komunitas saudara-saudara Salib Suci yang merupakan bagian dari komunitas besar Gereja. Oleh karena itu, menerima Konstitusi ini berarti mengikatkan diri untuk hidup dalam komunitas ini yang dibaktikan kepada Allah dan diabdikan di antara manusia.

 

0.2       Oleh sebab itu, Konstitusi  ini  diusulkan sebagai dasar hidup dan karya kita. Konstitusi ini disahkan oleh Kapitel General tahun 1967 dan diteguhkan oleh Kapitel-kapitel General berikutnya. Nilai sejati prinsip-prinsip yang diungkapkan di dalamnya akan ditentukan oleh sejauh manakah Konstitusi ini memberi wujud dan bentuk konkret pada kita seraya kita terus mempelajari dan menerapkannya pada hidup dan karya kita.

 

0.3       Konstitusi ini menekankan hal yang hakiki. Hanya sedikit norma khusus diperuntukkan bagi pribadi, komunitas, atau propinsi. Dengan demikian, Konstitusi mengundang kita untuk melayani dengan bebas. Akan tetapi, bagi kita pesan yang paling kuat dari Konstitusi ini  adalah bahwa kita dengan bebas berkehendak membangun komunitas.

 

0.4       Konstitusi ini hendaknya dilihat dalam sejarah Ordo sebagai tahap baru dalam perkembangannya yang terus-menerus dan berkelanjutan. Sesuai dengan keinginan Konsili Vatikan II, Konstitusi berusaha merefleksikan sejarah dan hidup kita saat ini. Konstitusi mencoba dengan suatu cara baru membangun tradisi-tradisi yang sudah selalu menberi definisi tentang komunitas kita dan mengantar perubahan evolutif ini menuju zaman yang lebih baru dalam sejarah kemanusiaan dan Gereja. Konstitusi ini tentu tidak bermaksud untuk memutuskan hubungan dengan zaman lampau. Sebaliknya, sambil mempertimbangkan kontinuitas nilai luhur dengan masa lampau, Konstitusi ini mengarahkan mata kita ke masa depan dan menyediakan diri sebagai panduan yang berguna bagi hidup kita sebagai “Para Kanon Regular Ordo Salib Suci” pada zaman kita ini.

 

0.5       Kita mengakui otoritas Gereja dan kewajiban kita untuk mematuhi peraturan gerejani yang berkaitan, maka pada prinsipnya acuan-acuan eksplisit pada hukum-hukum Gereja telah dihilangkan.

 

 

 

BAGIAN SATU

DASAR-DASAR RELIGIUS KOMUNITAS KITA

BAB I

HIDUP KOMUNITAS

 

1.0    Identitas Kita

 1.1       Para Kanon Regular Ordo Salib Suci merupakan suatu persekutuan pria Kristiani yang berkehendak hidup dan bekerja dalam suatu komunitas guna mewujudkan Kerajaan Allah di dunia ini.

 

1.2       Bersama semua orang Kristen, kita menjadi bagian dalam konstitusi Gereja, Umat Allah yang masih dalam perjalanan, di mana Injil Yesus Kristus tetap hidup dan diwartakan.

 

1.3       Para Saudara Salib Suci mewartakan Injil dan menjadi bagian dalam kehidupan Gereja melalui aneka ragam pelayanan, di mana semua adalah sama dan bersaudara dalam Kristus, yang disalibkan dan dibangkitkan.

 

1.4       Ordo kita mencari inspirasinya untuk komunitas ini dalam Injil, Regula Agustinus, dan unsur-unsur vital tradisi kita sendiri, serta dalam nilai-nilai dan kebutuhan-kebutuhan Gereja dan masyarakat kita zaman ini.

 

 

2.0    Injil

2.1       Kedatangan Kristus ke dalam dunia kita dan kepergian-Nya kepada Bapa bukannya menandakan adanya jarak dan keterasingan-Nya dari dunia ini, tetapi justru menampilkan pengabdian-Nya yang total untuk mengantar dunia kepada kepenuhan dan untuk membangun cinta dalam relasi manusia satu sama lain. Pada hakikatnya, hidup kita sama dengan hidup setiap pengikut Kristus –hidup bakti dalam iman, harapan, dan kasih. Sebagai seorang religius, kita mendengar panggilan untuk membebaskan diri dengan menyatakan komitmen pada tanggung jawab kristiani untuk bekerjasama dalam membawa cinta dan keadilan ke dalam dunia ini.

 

2.2       Bagi kita, salib Kristus adalah suatu tanda pelayanan-Nya yang total dalam kasih-Nya untuk semua manusia. Kita ingin melihat kesetiaan kita kepada Salib itu, terutama dalam pembaktian kita untuk mewujudkan suatu komunitas yang sungguh injili melalui penerimaan hidup  dan karya kita, dan melalui kehadiran apostolik kita di mana kebutuhan manusiawi dan religius memanggil kita.

 

2.3       Sekalipun kepastian akan kematian menyadarkan kita akan batas eksistensi duniawi kita dan mengarahkan kita menuju suatu kehidupan yang bersahaja dan sederhana, kebangkitan Kristus bagi kita adalah jaminan adanya harapan abadi. Harapan pasti akan kesatuan kekal semua orang pilihan Allah dengan Tuhan adalah sumber kegembiraan kita.

 

2.4       Dalam usaha kita untuk bergabung bersama dalam suatu hidup yang sungguh kristiani, kita mengambil Maria sebagai model kita, yang bagi Gereja sepanjang abad telah menjadi tanda cinta dan pelayanan yang tiada bandingnya.

 

 

3.0    Regula Agustinus

3.1       Para Saudara Salib Suci yang pertama memilih Regula Agustinus sebagai suatu bentuk vital dari komunitas injili. Dalam banyak unsur yang secara hakiki hanya bernilai historis saja, ternyata Regula dengan semangat aslinya tetap merupakan landasan yang tepat bagi hidup bersama saat ini. Pesannya jelas: “Pertama-tama, itulah alasannya mengapa kamu bergabung dalam hidup bersama, kamu harus hidup dalam satu tujuan dalam rumah Tuhan, dan harus sehati sejiwa dalam Allah ” (Regula Agustinus, 3). Persatuan satu sama lain adalah suatu tuntutan mutlak bagi mereka yang berada dalam perjalanan menuju Allah. Dalam cinta satu sama lain, kita berjumpa dengan Tuhan. Kesatuan manusiawi melalui cinta melampaui kesatuan itu sendiri dan mengarah pada Kesatuan tertinggi, Kedamaian sempurna dan Cinta yang merangkul semua. Atau dalam kata-kata bapak kita Agustinus: “Kita menjadi satu dalam Kristus yang satu menuju Bapa yang satu” (Penjelasan pada Mzm 147:28).

 

 

4.0    Tradisi-tradisi Kita

4.1       Unsur-unsur yang hidup dari tradisi kita memasukkan hidup komunitas yang kuat ini dan juga suatu komitmen pada Salib yang menghidupkan. Selain itu, keanggotaan kita sebagai ordo kanon regular menuntut kita agar setia pada doa liturgi bersama dan bentuk-bentuk ibadat lainnya dalam komunitas kita serta dalam pelayanan kerasulan. Warisan ini harus ditekankan sejak tahun-tahun novisiat dan pembinaan.

 

 

5.0    Nilai-Nilai Dunia Kita

 5.1       Karena percaya kepada Kristus, kita yakin bahwa dunia ini adalah dunia Allah dan bahwa kita dipanggil untuk memiliki kepercayaan dalam ciptaan ini. Kita menganggap tugas kita untuk mengakui nilai-nilai manusiawi dalam dunia saat ini sebagai norma-norma dan sumber-sumber inspirasi untuk membangun hidup bersama kita. Bersama manusia di seluruh dunia, kita mengakui prinsip martabat manusia; kita mengakui dan merasakan kerinduan manusia akan kebebasan dan komunitas; kita mengakui tuntutan manusia akan demokrasi dan tanggung jawab pribadi. Dalam terang keyakinan tersebut, kita telah mencangkokkan prinsip subsidiaritas dan kolegialitas ke dalam struktur dan susunan hidup bersama kita. Kita melihat cita-cita hidup kita sebagai suatu ekspresi iman kita bahwa Roh Allah berbicara dalam dan melalui dunia di mana kita hidup.

 

5.2       Hidup bersama dalam cinta membebaskan orang karena cinta itu sendiri adalah suatu daya yang membebaskan. Akan tetapi, kebebasan ini harus diarahkan oleh aturan-aturan dan struktur-struktur yang perlu bagi hidup komunitas karena hukum-hukum dan struktur-struktur tersebut secara esensial adalah bentuk-bentuk konkret dari kebebasan. Mereka memberi komunitas daya tahan yang diperlukan dan mutlak perlu guna perkembangan penuh para anggotanya. Akan tetapi, mereka bernilai hanya sejauh sungguh-sungguh dapat memperkuat ikatan kita satu sama lain dan membuat kita mampu untuk mewujudkan aspirasi-aspirasi kita yang paling dasar. Oleh karena itu, kita tidak dapat menyangkal pengujian kritis terus-menerus pada hukum-hukum dan struktur-struktur komunitas kita dan revisi di mana dibutuhkan.

 

5.3       Kita percaya bahwa prinsip-prinsip ini mengungkapkan nilai-nilai dasar Injil dan Regula Agustinus dalam bentuk zaman ini.

 

 

6.0   Gereja dan Masyarakat Kita Zaman Ini

 6.1       Sumber sejati inspirasi untuk hidup kita sebagai orang kristiani dan religius juga ditemukan dalam tanda dan kebutuhan zaman ini, baik dalam Gereja maupun dalam  masyarakat. Kontak iman dengan semua orang, baik di dalam maupun di luar komunitas, adalah suatu perjumpaan dengan Tuhan dan dengan demikian merupakan hidup kristiani yang sejati. Dengan cara ini, kita mengalami panggilan Roh dalam peristiwa-peristiwa hidup kita sendiri. Oleh karena itu, perjuangan, keberhasilan, dan kegagalan orang lain secara bermanfaat mempengaruhi pengabdian pribadi dan komunitas kita serta mendorong kita untuk mencari kerasulan-kerasulan yang memungkinkan kita untuk bekerja dengan inspirasi kristiani yang efektif.

 

6.2       Semuanya berarti bahwa hidup bersama kita diarahkan pada kerasulan yang sesuai dengan cita-cita yang dihayati oleh para Saudara Salib Suci yang pertama, sekalipun tentunya, dengan cara yang cocok bagi zaman mereka sendiri. Hidup bersama kita seharusnya sejalan dengan kegiatan pelayanan para anggotanya; akan tetapi, kegiatan-kegiatan kerasulan ini harus menemukan keseimbangan dan dukungan yang dibutuhkan dalam hidup komunitas yang otentik. Hal ini menuntut keluwesan dan kreativitas serta mewajibkan setiap anggota komunitas untuk terus-menerus mencari suatu keseimbangan yang dinamis.

 

6.3       Kita mengakui dan mendorong perkembangan-perkembangan baru dalam karya kerasulan untuk kita sebagai religius. Karya ini dapat memperkembangkan dengan baik bentuk-bentuk berbeda dalam Ordo kita. 

 

 

7.0    Subsidiaritas dan Kolegialitas dalam Komunitas Kita

7.1.      Setiap orang adalah pribadi yang unik dengan hak dan kewajiban yang melekat, dan dengan panggilan serta bakat-bakatnya sendiri yang harus dihargai oleh setiap orang kapan pun. Oleh karena itu, kita, sebagai anggota Ordo, harus mampu mewujudkan semua hak, menjalankan tanggung jawab kita, dan menyempurnakan karunia kodrati dan karismatis kita sampai kepada kepenuhan total. Kita mempertahankan juga bahwa kita dapat memperoleh kepenuhan pribadi dalam menyediakan diri sepenuhnya, dalam solidaritas persaudaraan, untuk komunitas.

 

7.2       Kita mengakui kebutuhan otoritas dalam setiap komunitas. Akan tetapi, pelaksanaan semua otoritas dalam Ordo kita seharusnya didasarkan pada cinta kristiani yang adalah hukum pertama Tuhan. Hal ini menyangkut prinsip subsidiaritas dan kolegialitas.

 

7.3       Prinsip subsidiaritas berarti bahwa kita harus menghormati martabat manusia setiap pribadi dan hak-hak komunitas lokal dalam struktur hukum yang lebih besar. Hal ini juga memberi implikasi bahwa setiap individu, komunitas lokal dan propinsi harus peka terhadap kepentingan bersama. Pada kasus di mana satu orang, komunitas, atau propinsi tidak mampu untuk memperhatikan atau gagal memperhatikan kepentingan bersama, maka komunitas lokal, propinsi atau Ordo mungkin menyediakan bantuan, dorongan, atau koreksi sedemikian rupa yang mungkin dituntut oleh situasi itu.

 

7.4       Prinsip kolegialitas berarti bahwa para anggota seharusnya menikmati partisipasi penuh dan efektif dalam kehidupan, tanggung jawab, dan keputusan-keputusan komunitasnya pada tingkat lokal, propinsial, dan general.

 

7.5       Kedua prinsip ini seharusnya dengan jelas dibedakan satu sama lain, tetapi tidak harus dipisahkan. Keduanya adalah dua unsur yang saling melengkapi satu sama lain sebagai satu kesatuan sehingga diperlukan keseimbangan di antara keduanya. Agar prinsip kolegialitas dapat berfungsi dengan baik, mutlaklah bahwa komunitas yang lebih besar dan pemimpinnya sangat memperhatikan hak dan kebutuhan komunitas yang lebih kecil dan masing-masing anggota. Sama halnya dengan prinsip subsidiaritas. Agar dapat berfungsi baik, setiap anggota dan komunitas yang lebih kecil harus memperhatikan hak dan kebutuhan komunitas yang lebih besar dan pimpinannya. Prinsip-prinsip ini berlaku bagi komunitas lokal kita, propinsi kita, dan Ordo kita secara keseluruhan.

 

 

8.0    Peranan Kapitel-kapitel

8.1       Berfungsinya kapitel-kapitel kita sebagaimana mestinya adalah suatu prasyarat, baik bagi pembentukan komunitas sejati maupun menjadi bukti suatu komunitas yang vital. Kapitel-kapitel merupakan hati, inti, dan daya pemersatu bagi suatu komunitas. Kapitel general bertanggung jawab pada kehidupan seluruh Ordo kita; kapitel-kapitel propinsi dengan cara yang sama wajib mendukung vitalitas dari masing-masing propinsi. Akan tetapi, pada akhirnya, efektivitas kapitel-kapitel tersebut tergantung pada kekuatan ide dan inisiatif yang berasal dari kapitel-kapitel komunitas lokal dan tergantung pada komitmen kita dari hari ke hari pada komunitas ini.

 

8.2       Berdasarkan gambaran komunitas lokal sebagai suatu kesatuan hidup bersama religius dan manusiawi, dalam banyak hal setiap komunitas harus mengatur cara hidupnya sendiri. Maka dari itu, komunitas-komunitas harus menyelenggarakan tugas edukasi dan formasi dalam nilai-nilai yang berasal dari kebiasaan-kebiasaan hidup membiara monastik tradisional yang sebelumnya dinyatakan secara rinci untuk Ordo secara keseluruhan. Dalam prakteknya, tentu tetap diharapkan bahwa kita memperhatikan sumber-sumber inspirasi Ordo kita. Salah satu tugas utama dari kapitel komunitas adalah menjamin realisasi terus-menerus dari persahabatan religius unik kita. Konsekuensinya adalah bahwa refleksi dan dialog kita dalam kapitel harus berkaitan dengan penciptaan kondisi yang mendukung persahabatan sejati dari hidup dan karya. Pada saat yang sama, kita harus menjaga diri agar jangan sampai terpuruk jatuh pada rutinitas belaka. Jika hal tersebut berlangsung efektif, seluruh hidup komunitas, doa bersama, hidup, dan karya bersama, harus terus-menerus diteliti secara kritis dalam terang sumber-sumber khusus inspirasi kita dan terutama dalam terang Injil dan perwujudannya di dunia saat ini. Hal ini menuntut suatu tanggung jawab yang serius dan tantangan bagi setiap anggota komunitas dan terutama bagi superior itu.

 

  

9.0    Prinsip-prinsip Kapitel-kapitel Kita

 9.1       Kalau mereka akan mencapai tujuan yang dimaksudkannya, perundingan-perundingan komunitas kita harus dilakukan dalam semangat keterbukaan dan kepercayaan timbal balik yang berakar pada iman yang otentik. Tugas pertama kita sebagai anggota suatu kapitel adalah membuat diri tetap terbuka untuk mendengar suara Tuhan dalam kata-kata yang disampaikan oleh saudara-saudara kita. Tidak ada yang lebih bertentangan dengan semangat kapitel-kapitel ini dari pada hasrat mau menang sendiri atau sikap bersikukuh yang tidak dimurnikan oleh keinginan untuk dipimpin oleh Roh Allah.

 

9.2       Dalam komunitas hidup kolegial yang kita inginkan, semua anggota mempunyai hak dan kewajiban yang sama, kecuali bila ditentukan lain dalam hukum.

 

9.3       Dalam komunitas-komunitas kita, superior memegang suatu tempat penting dan sentral. Dengan menerima jabatannya, dalam komunitas ia memperoleh posisi dan fungsi baru yang berbeda dari anggota lain manapun. Peranannya dalam interaksi dan perundingan komunitas adalah peranan kreativitas dan kepemimpinan. Oleh karena itu, sementara arah harian komunitas berada dalam tangannya, urusan utamanya adalah untuk memberi semangat dan koordinasi atas inisiatif yang bertanggung jawab dan kerjasama dengan semangat persaudaraan dalam komunitas. Ia harus menciptakan kesempatan bagi setiap konfraternya untuk mengalami ketaatan Injil sebagai tanggapannya atas panggilan Tuhan dan komunitas Gereja. Akibatnya, ia harus berjuang untuk menciptakan suatu iklim yang siap sedia mendengarkan. Ia sendiri akan mendengarkan komunitas sambil berusaha untuk menemukan kemanusiaan dan kerinduan-kerinduan kristiani sejati dari saudara-saudaranya agar mencapai keputusan-keputusan yang sungguh-sungguh bernilai komunal. Tugas dan perhatiannya adalah kesatuan hidup dan tindakan para saudaranya.

 

9.4       Supaya tidak jatuh dalam legalisme, yang paling berlawanan dengan kolegialitas sejati, dua titik ekstrem harus dihindari: superior jangan menjadi boneka dan tindakannya ditentukan komunitas; di lain pihak keinginan-keinginan yang sah dari komunitas jangan dihalang-halangi oleh superior. Superior jangan pernah memaksakan minat, selera, dan pendapat pribadinya atas nama ketaatan. Pada saat yang sama, kewajibannya untuk berbicara dalam nama komunitas tidak begitu saja dipenuhi lewat ketergantungan otomatis pada suara mayoritas. Akan tetapi, dengan gampang menolak suatu konsensus yang dicapai oleh mayoritas yang besar, menyebabkan ia mengucilkan diri dari komunitas sehingga ia akan kehilangan semua wibawa yang sesungguhnya. Mayoritas yang dituntut tergantung dari kadar kepentingan suatu perkara. Bila superior menyadari bahwa tiada kesepakatan nyata telah dicapai untuk suatu perkara penting, ia harus menunda keputusan final. Ia seharusnya membuat keputusan sementara agar hal itu dapat berjalan terus, tetapi hendaklah siap untuk meninjau kembali keputusan tersebut. Menutup pembicaraan kiranya merupakan pembangkangan pada Roh Kristus. Dalam kasus mendesak, superior dapat mengambil keputusan yang mengikat komunitas.

 

 

BAB II

KAUL-KAUL

 

10.0  Kaul pada Umumnya

10.1     Dengan mengikuti teladan Tuhan, kita menerima hidup berdasarkan nasihat-nasihat injili yaitu kemurnian, kemiskinan, dan ketaatan untuk membangun kesatuan kita satu sama lain serta untuk menciptakan kebebasan dan keluwesan yang dibutuhkan bagi pelayan kristiani yang total bagi orang-orang lain.

 

10.2     Oleh pengikraran kaul di antara para saudara kita dan di hadapan umat Allah, kita secara resmi dan di muka umum mencangkokkan diri pada hidup dan panggilan kita untuk pelayanan kristiani dalam Ordo Salib Suci. Pengikraran kaul kita adalah tindakan pribadi untuk membaktikan diri, diberdayakan oleh Roh itu untuk mengikuti Kristus dalam pengabdian-Nya secara total dan bebas kepada Bapa dan kepada orang lain, yang mencapai puncak-Nya pada Salib. 

 

10.3     Penggabungan dengan Kristus dan komunitas Salib Suci melalui pengikraran kaul kita, yang diterima dan diakui Gereja, pada hakikatnya adalah suatu ekspresi keberadaan kita sebagai suatu komunitas Gereja.

 

10.4     Melalui pembaktian ini, kita membebaskan diri sendiri untuk suatu perwujudan yang lebih intensif dari Kerajaan Allah di antara manusia. Kita secara khusus menerima tugas untuk mengembangkan warisan Ordo bersama para saudara kita. Kita merangkul kegembiraan dan perjuangannya saat ini, dan menanggapi Roh yang memanggilnya untuk mewujudkan secara baru misinya dalam Gereja.

10.5     Hidup religius kita berpusat pada cinta kasih kristiani. Ketiga kaul merupakan suatu perwujudan unik dari cinta kristiani yang satu yang adalah denyut komunitas kita dan tujuan karya kita. Dalam kenyataan yang terdalam, kaul-kaul tersebut tiada lain kecuali satu pembaktian diri.

 

10.6     Kita menerima hidup murni, miskin, dan taat ini dalam komunitas sebagai kesaksian terbuka dan nyata pada kepemimpinan dan kehadiran Allah yang aktif dalam dunia. Hidup religius adalah suatu kesaksian akan yang transenden yang hadir dalam dunia manusia.

 

10.7     Oleh karena itu, hidup kita sebagai seorang religius mempunyai makna yang tak tergantikan dalam Gereja dan dunia. Tambahan pula, kita menghayati panggilan kita dengan tetap dan penuh hanya kalau kita menyadari bahwa setiap panggilan dalam Kristus mendukung dan menopang yang lain dalam pembangunan Tubuh Kristus dalam cinta. Maka dari itu, kita harus terbuka untuk menerima inspirasi dan pengkayaan dari panggilan lain.

 

10.8     Sesuai dengan tradisi kita yang sudah berabad-abad usianya, mereka yang mengikrarkan kaul dalam Ordo kita harus mengikuti teks berikut ini. Tentunya mereka boleh mengungkapkan pandangan yang lebih pribadi dalam kata pengantar atau penutup.

 

“Saya, N.N., berkaul dan berjanji ketaatan kepada Allah dan kepadamu, N.N., Magister General Ordo Salib Suci, dan kepada para penggantimu, sesuai dengan Regula Agustinus dan Konstitusi Ordo Salib Suci. Maka, dengan cara ini, saya akan taat kepadamu dan pengganti-penggantimu untuk … [dalam hal kaul sementara], atau ‘sampai mati’ [dalam hal kaul kekal].” 

 

10.9     Jika pengikraran kaul diucapkan di hadapan superior lain yang berwenang, teks berbunyi:

 

“Saya, N.N., berkaul dan berjanji ketaatan kepada Allah dan kepadamu, N.N.,  sebagai wakil dari N.N., Magister General Ordo Salib Suci, dan kepada para penggantinya, sesuai dengan Regula Agustinus dan Konstitusi Ordo Salib Suci. Maka, dengan cara ini, saya akan taat kepada Magister General dan pengganti-penggantinya untuk … [dalam hal kaul sementara], atau ‘sampai mati’ [dalam hal kaul kekal].”

 

 

11.0  Kaul Kemurnian

11.1     Dalam hidup religius, dengan cara yang khas kita menanggapi panggilan Kristiani untuk mengejawantahkan kepenuhan cinta. Kita dipanggil untuk mengikuti Kristus dalam kekuatan Roh yang meresap dalam hidup murni di mana Kristus telah hidup dan Ia sendiri melestarikannya dalam Gereja melalui Injil. Kaul kemurnian kita merupakan tanggapan pribadi atas panggilan itu.

 

11.2     Dengan kaul kemurnian, kita tidak menikah dan hidup sebagai selibater. Walaupun demikian pengorbanan kita akan nilai-nilai yang sangat berharga untuk hidup berkeluarga dan hidup dalam perkawinan hanyalah satu sisi dari pilihan hidup yang positif dan menggembirakan. Bakti kita pada pewartaan Kerajaan Allah dan perwujudan persaudaraan dalam Allah menuntut kita untuk hidup murni yang membuka kita secara penuh pada yang lain dalam cinta dan persahabatan. Oleh karena itu, hidup murni diarahkan pada kemurahan yang diwujudkan secara nyata dalam sharing kehidupan cinta kristiani dan perhatian bagi semua orang.  Dengan cara ini, hidup dalam kemurnian merupakan suatu sumber kebahagiaan manusiawi. Maka dari itu, kita harus memelihara terus-menerus bahwa persahabatan kita adalah pada kenyataannya suatu kesempatan bagi setiap saudara untuk berkembang dewasa dan mengalami kepenuhan pribadi di antara manusia. Sebaliknya, hidup murni akan didukung dan didorong oleh hubungan-hubungan manusiawi yang menyebabkan adanya sukacita dan kegembiraan dalam hidup kita.

 

11.3     Dalam menerima kemurnian sebagai jalan kita menuju cinta, kita berharap untuk dapat berusaha melupakan diri dengan spontan dan gembira serta bersedia menanggung penderitaan dan beban, yang tanpa hal itu cinta tak dapat diwujudkan. Kita menyadari bahwa Salib adalah perwujudan suatu kehidupan yang dihidupi oleh cinta yang berusaha merangkul dunia secara keseluruhan. Menjadi seorang saudara bagi setiap orang berarti hidup di bawah tanda Dia yang Tersalib.

 

11.4     Maka dari itu, kemurnian seharusnya tidak mengasingkan kita dari dunia, tetapi justru harus membebaskan kita untuk hidup dalam kesediaan total dalam dan bagi dunia. Karena hidup dalam dunia dan bekerjasama dalam membangun komunitas manusia yang lebih kaya dan bermakna, kita memberi kesaksian melalui hidup murni bahwa Allah adalah satu-satunya sumber sejati dalam semua cinta manusia dan komunitas. Dialah yang Mahatunggal yang kelak menjadi segalanya dalam semua.

 

 

12.0 Kaul Kemiskinan

12.1.    Menjadi miskin berdasarkan Injil berarti meletakkan dasar keberadaan kita pada hidup orang lain dan tidak lagi mengakarkan keprihatinan pada diri kita sendiri. Kita menanggapi kemiskinan injili ketika kita sungguh mengarahkan diri pada pribadi sesama dalam setiap kesempatan yang ditawarkan oleh jalan hidup kita seraya menyadari bahwa kita diperuntukkan bagi satu sama lain sebagai saudara-saudari oleh satu Bapa bagi semua orang. Kemiskinan injili menuntut perhatian berkelanjutan pada saudara-saudari kita. Kita harus menyambut permohonan mereka dan siap untuk mengubah hidup kita menurut kebutuhan mereka. Sikap yang tepat pada barang-barang dunia, kepemilikan, dan pada karya muncul secara natural: dalam segala hal itu kita secara esensial diarahkan kepada orang lain.

 

12.2     Kita menemukan sumber inspirasi terdalam bagi bentuk hidup seperti ini dalam hidup Kristus: “Meskipun kaya, Ia menjadi miskin bagimu” (2 Kor 8:9). Panggilan pada kemiskinan injili mengundang kita untuk solider dengan yang miskin dan yang membutuhkan, yang kepada merekalah perhatian Kristus secara khusus ditujukan, baik dengan cara hidup sebagaimana yang mereka lakukan atau dengan cara bekerja untuk meningkatkan perkembangan sosial mereka. Suatu ikrar kemiskinan tanpa solidaritas manusiawi konkret bukan lagi merupakan kemiskinan dalam Roh Kristus.

 

12.3     Kaul kemiskinan injili menandakan suatu komitmen bersama untuk tetap menyadarkan budi dan membuka hati kita bagi setiap kebutuhan sesama manusia, baik di dalam maupun di luar komunitas kita. Kemiskinan kita dijalankan dalam konteks kemurnian hidup kita, yang menawarkan suatu kesempatan unik untuk melayani saudara-saudari kita. Kita harus belajar melihat dan menghargai realitas terdalam dari kaul kemiskinan kita sebagai komunitas yang berdasarkan pada keterbukaan dan kesediaan pada kebutuhan sesama dalam Gereja dan dunia saat ini. Ini menuntut sikap sederhana dalam makanan, berpakaian, berekreasi; suatu penghargaan pada pekerjaan, suatu usaha untuk mengatur hidup kita secara efisien dalam kerangka karja kita di tengah masyarakat. Penghayatan otentik kemiskinan injili adalah kehadiran apostolik di tengah-tengah mereka yang membutuhkan kita.

 

 

13.0  Kemiskinan Khas Saudara Salib Suci

13.1     Kemiskinan injili dapat diwujudkan secara sah dalam banyak cara yang berbeda. Berikut ini, kita ingin mencantumkan ciri-ciri tertentu dari praktek kemiskinan kita.

 

13.2     Dengan kaul kemiskinan kekal yang solemnel, kita menolak sepenuhnya segala pemilikan barang.

 

13.3     Dalam rangka membangun persekutuan dan kerasulan, kita menerima milik bersama dan tanggung jawab bersama untuk milik, pendapatan, pengeluaran serta kita menganggap diri sebagai subjek yang tunduk pada hukum umum tentang kerja. Tanggung jawab bersama ini hendaknya terlihat dalam penggunaan milik bersama secara wajar dan efisien, berkaitan dengan kebutuhan dan keperluan angggota dan karya kita.

Kita seharusnya menyadari juga tuntutan kemiskinan demi  kesaksian bersama melalui kesediaan kita untuk berbagi milik bersama kita dengan komunitas-komunitas lain, Ordo, Gereja, dan masyarakat dalam arti umum.

 

13.4     Kemiskinan yang kita ikrarkan bukanlah kemiskinan dalam arti kemelaratan, melainkan kemiskinan di mana anggota-anggota menikmati dukungan dan perlindungan yang berasal dari keanggotaan komunitas kita. Diskriminasi dalam bentuk apapun tidak dapat diterima. Pada saat yang sama kita harus ingat bahwa orang sakit dan yang lanjut usia membutuhkan perhatian khusus. Lagi pula, baik standar kehidupan pribadi maupun bersama harus disesuaikan dengan lingkungan di mana kita hidup dan bekerja sehingga dengan kesederhanaan dan kesahajaan hidup, kita sungguh memperlihatkan sikap lepas bebas injili dan kebebasan dari perhatian kita pada barang material.

 

13.5     Praktek kemiskinan kita seharusnya tidak mengurangi tanggung jawab dewasa atau memperbesar ketergantungan tidak dewasa kepada superior. Kolegialitas dalam kemiskinan membawa akibat: bahwa setiap orang harus diberitahu secara tepat keadaan keuangan komunitas dan propinsi; bahwa dalam cara-cara yang tepat, setiap orang bertanggung jawab pada keputusan menyangkut keuangan komunitas dan propinsinya; dan bahwa seorang anggota dapat dipercayai dana komunitas untuk proyek kerasulan dan kebutuhan pribadinya dalam konteks tanggung jawab bersama. 

 

 

14.0 Kaul Ketaatan

 14.1     Taat, dalam tradisi Injil, adalah menanggapi panggilan Roh dalam Gereja, suatu panggilan abadi untuk menjawab seruan dunia di mana kita hidup, dengan kemurahan hati sepenuhnya mengikuti teladan Tuhan. Jawaban kita pada seruan semua orang, baik pria maupun wanita adalah jawaban kita pada panggilan konkret dari Roh guna membangun Kerajaan Allah dalam cinta dan keadilan. Pendek kata, ketaatan kita adalah suatu jawaban cinta dan pelayanan, dan menjadi siap sedia bagi Gereja dan semua orang.

 

14.2     Jawaban kita pada panggilan Allah, sebagaimana menjadi nyata dalam persahabatan kita, tertanam dalam komitmen pribadi untuk mengintegrasikan inisiatif kita ke dalam ritme hidup dan tanggung jawab seluruh komunitas. Komitmen kita menuntut suatu kesetiaan terus-menerus bagi saudara-saudara dan bagi kehendak bersama kita untuk hidup dan bekerja bersama. Oleh karena itu, ketaatan kita membawa implikasi bahwa setiap saudara memahami kebebasan pribadi yang dewasa dan pada saat yang sama mengandaikan suatu tanggung jawab pribadi yang dewasa di dalam komunitas.

 

14.3     Kesatuan dari persahabatan kita sebagian besar menjadi beban superior. Bagaimanapun sementara hal itu tetap menjadi tanggung jawabnya, kesatuan tersebut juga adalah tugas tetap setiap saudara untuk menyumbangkan ide dan inisiatif demi kesejahteraan komunitas. Hal ini akan menjamin bahwa keputusan-keputusan dan pembuatan kebijaksanaan komunitas sungguh-sungguh merupakan karya semua anggotanya. Karena alasan ini, kita mendorong setiap saudara untuk berterus-terang dan bersikap spontan pada superior, memperlihatkan rasa hormat terhadap beban pelayanannya dan otoritasnya sebagai pelayan Tuhan.

 

14.4     Dalam semangat kolegialitas sejati, superior harus menghindari setiap gejala sikap otoriter. Ia sepatutnya tidak bermaksud menundukkan saudara-saudaranya pada dirinya, tetapi untuk mengarahkan semua bersama-sama pada panggilan Allah dan masyarakat, sehingga membangun kesatuan dalam Kristus. Sementara tugasnya menuntut kebaikan hati dan pengertian yang besar, pada saat yang sama ia harus tetap berani mengajak agar saudara-saudaranya setia pada panggilannya (Regula Agustinus, 46).

 

14.5     Membagikan kehidupan dengan saudara-saudara kita berarti menjadi siap sedia mendengarkan satu sama lain, menjadi terbuka dalam urusan satu sama lain, menjadi siap menyingkirkan minat pribadi. Dengan cara ini, kita bersama-sama mencari kesatuan hati dan jiwa yang menjadi batu penjuru dari kesaksian dan pelayanan kita pada orang-orang lain.

 

 

15.0 Pertimbangan-pertimbangan Lebih Lanjut

 15.1     Hidup berkomunitas yang kepadanya dan di dalamnya kita dipanggil hendaklah menjadi suatu kekuatan yang meningkatkan perkembangan kita pada kepenuhan kristiani dan manusiawi. Maka dari itu, kita masing-masing diwajibkan untuk berusaha terus-menerus memahami dan menghormati saudara-saudara kita sebagai pribadi yang unik.

 

15.2     Komunitas religius kita merupakan suatu sel dalam pembangunan Gereja, umat Allah, sebagaimana juga setiap keluarga kristiani. Dengan cinta timbal-balik yang kuat, persaudaraan kita, yang dipanggil untuk menjadi contoh yang hidup dari kesatuan, mengumandangkan suatu tanda esensial dari Gereja. Kehidupan religius pada umumnya memenuhi fungsi profetis ketika teladan yang diberikan oleh para anggotanya menantang semua orang, Kristen dan non-Kristen, untuk memberikan kepada masing-masing orang yang dijumpai cinta universal tanpa pandang bulu. Persahabatan religius dalam hidup dan karya adalah tanda dan sarana khusus dalam Gereja bagi kesatuan sejati di antara manusia, suatu kesatuan yang berakar dan diarahkan pada kepenuhan dalam Kristus, yang di dalam Dia, oleh Dia, untuk Dia segalanya diadakan (bdk. Kol 1:16). Hidup religius ini dengan cara istimewa adalah bagian dari hati nurani profetis dan dinamis dari Gereja.

 

15.3     Akan tetapi, komunitas kita akan mewujudkan fungsi profetis hanya ketika persahabatan dan cinta persaudaraan sejati menentukan hidup kita. Bila hal ini terjadi, kita akan sungguh menolong satu sama lain untuk setia pada panggilan kita. Bahkan lebih lagi, kita akan menciptakan kondisi-kondisi bagi karya kerasulan yang terpancar dari komunitas ke dalam dunia; dan hal ini merupakan unsur esensial dari hidup bersama religius kita.

 

15.4    Kehidupan kita sebagai konfrater adalah hidup di dalam komunitas. Kesetiaan terhadap hidup itu memanggil untuk saling mencintai dan saling memaafkan. Setiap konfrater hendaklah mengakui tanggung jawab pribadinya untuk memecahkan secara cepat, efektif dan adil perselisihan dengan seorang konfrater.

 

15.5     Bilamana seorang konfrater beranggapan bahwa dia mengalami hal yang tidak adil, dia mempunyai hak untuk rekursus.

 

 

BAB IIII

DOA

 

16.0  Kondisi-kondisi untuk Berdoa

16.1     Sebagai suatu komunitas yang didirikan berdasarkan iman, kita mengakui bahwa doa adalah ungkapan dan sumber esensial hidup dan karya kita bersama. Doa menyuburkan iman kita dan mendorong kita terus untuk mewujudkan iman tersebut menuju kesempurnaannya dalam cinta. Kita membuka diri sendiri pada panggilan Roh yang tinggal di tengah-tengah kita dan mengubah kita menjadi serupa dengan Kristus, yang memungkinkan kita untuk berseru “Abba, Bapa” (Rom 8:15). Kesetiaan pada panggilan kita menuntut setiap orang di antara kita dan setiap komunitas untuk bertekun di dalam doa dan menyerukan nama Tuhan.

 

16.2     Supaya kita belajar berdoa dan doa kita mendalam serta matang, kita harus rela berusaha untuk menciptakan suatu suasana tenang dalam komunitas kita. Di atas segalanya, roh kemurahan hati dan kehendak mendalam untuk bertekun adalah tuntutan esensial bagi hidup doa yang otentik.

 

16.3     Kita harus mendengarkan terus-menerus Sabda Allah, yang memberi kedalaman pada hidup manusia. Dengan begitu, setiap orang dari kita harus menyediakan waktu untuk berdoa dan berefleksi pribadi, terutama berlandaskan Kitab Suci, sesuai dengan kebutuhan dan talenta yang ia terima dari Tuhan. Hanya dengan begitulah doa bersama kita mempunyai sumber yang benar dalam pengabdian pribadi yang dalam. Dengan cara ini, kita mengikuti teladan Maria yang merenungkan dalam hatinya semua peristiwa yang terjadi dan yang bersekutu dengan para rasul dalam doa memohon kedatangan Roh Kudus.

 

 

17.0 Doa  Komunitas

17.1     Doa liturgis dan doa komunitas kita adalah persembahan khusus untuk memuji Bapa dalam kesatuan dengan doa Kristus dan dengan seluruh umat Allah. Di sini kita menjadi satu dalam Tuhan untuk mengungkapkan dan menyuburkan kesatuan tersebut yang kepadanya kita dipanggil. Berdasarkan hal itu muncul kebutuhan setiap komunitas untuk datang bersama secara teratur untuk berdoa. Sungguh, hal itu merupakan panggilan istimewa kita yang diserahkan kepada kita berabad-abad oleh para pendahulu kita, untuk memelihara liturgi Gereja dengan cara tersebut.

Kita harus secara kreatif menarik inspirasi kita untuk doa ini dari sumber-sumber liturgis, dari unsur-unsur yang hidup dalam tradisi kita, dan dari kebutuhan dan cita-cita zaman kita.

 

17.2     Semua doa bersumber dan berpuncak dalam perayaan Ekaristi di mana kita, dalam kesatuan dengan Maria dan seluruh Gereja, merayakan kenangan akan wafat dan kebangkitan Kristus. Di sana kita menemukan makna sejati dari Salib dan sukacita hidup kristiani. Di sana pula kita menemukan perdamaian dan kesatuan sejati dengan saudara-saudara kita. Lalu, kita berkeyakinan bahwa setiap konfrater dan komunitas harus memperkembangkan kesatuan tersebut lewat cinta dan pelayanan di mana perayaan Ekaristi menjadi sumber dan tanda.

 

17.3    Baik dalam doa-doa pribadi maupun komunitas, dengan persembahan Kristus untuk memuji dan bersyukur kepada Bapa dalam nama semua, sebagaimana doa-Nya untuk perdamaian, kita secara apostolik hadir di dunia. Karena harus membawa setiap orang, baik pria maupun wanita, kepada Kristus lewat hidup pelayanan total kita, kita harus menolong mereka berdoa; dengan mempersembahkan doa untuk mereka, kita seharusnya mengundang mereka untuk berpartisipasi dalam doa penebusan dan pujian yang kita doakan, bersama semua ciptaan, kepada Tuhan semua orang.

 

 

BAB IV

ASPEK-ASPEK LAIN KEHIDUPAN HARIAN

  

18.0 Pedoman Umum

18.1     Bahwa kebebasan yang besar diberikan kepada propinsi-propinsi dan setiap komunitas-komunitas lokal dalam  menentukan hal-hal yang berkaitan dengan kehidupan harian mereka dalam kerangka hukum kita yang sesuai adalah sepenuhnya sejalan dengan cita-cita kita hidup dalam komunitas.

 

18.2     Setiap komunitas akan bertanggung jawab, terutama melalui kapitelnya, untuk menciptakan bentuk efektif kehidupan harian yang sungguh-sungguh kristiani dan manusiawi. Dengan mencamkan bahwa kesatuan lebih penting daripada keseragaman, komunitas dengan teliti harus menghargai nilai-nilai yang hidup yang terdapat dalam tradisi praktek kita sendiri, keragaman pribadi-pribadi dan kegiatan-kegiatan dalam komunitas, pelaksanaan di komunitas-komunitas lain, agama lokal dan kebudayaan dan kebiasaan sekular, dan hukum-hukum yang ditetapkan otoritas yang lebih tinggi dalam Ordo dan Gereja.

 

 

19.0  Pedoman Khusus

19.1     Suatu komunitas tidak dapat hidup dalam keharmonisan tanpa adanya aturan minimal.

 

19.2     Makan bersama dalam komunitas harus dipandang sebagai kesempatan khusus untuk mengalami dan meningkatkan semangat persahabatan. Berkumpul bersama di sekitar meja makan dalam kesederhanaan dan keterbukaan dapat menjadi suatu ungkapan sejati dari kehidupan kristiani. Saat doa dan refleksi sejenak dapat membantu kita untuk menghargai bahwa makan bersama kita juga merupakan tanda kristiani yang berarti.

 

19.3     Busana kita, yang adalah suatu warisan yang telah berabad-abad, hendaklah menjadi suatu simbol efektif dari kesatuan kita, baik dalam pandangan kita sendiri maupun orang-orang lain.

 

19.4     Menyadari bahwa kita adalah pendosa, kita mengakui tempat Sakramen Pengampunan dalam hidup kita. Penitensi kristiani, yang kita lihat terutama dalam penerimaan beban hidup dan karya kita bersama dengan sukacita, merupakan suatu sarana untuk mencapai kebebasan kristiani yang makin besar dan kebiasaan kita untuk melakukan penyucian diri dalam relasi kita dengan orang dan barang.

 

19.5     Puasa dan matiraga seharusnya selaras dengan perkembangan dalam Gereja lokal.

 

19.6     Kita harus tetap sadar bahwa kesehatan tubuh dan kebugaran fisik adalah penting untuk vitalitas komunitas kita dan perkembangan pribadi.

 

19.7     Jika komunitas kita harus berefleksi tentang karya dan hidup mereka secara efektif –untuk menguji diri sendiri lewat Injil dan perkembangan sosial saat ini– usaha belajar dan refleksi sendiri maupun bersama adalah mutlak perlu. Superior lokal harus memperhatikan bahwa acara-acara dan orang-orang yang tepat dan cocok tersedia untuk perkembangan berkesinambungan komunitas dan para anggotanya.

 

19.8     Untuk memperkembangkan karya dan refleksi, tepatlah bahwa terdapat suasana damai dan tenang di tempat di mana kita hidup. Dengan cara begitu, para anggota komunitas harus mengungkapkan cinta kristiani melalui sikap memperhatikan satu sama lain.

 

19.9     Seharusnya terdapat suatu suasana yang nyaman dan wajar dalam komunitas kita. Karenanya, dibutuhkan waktu-waktu khusus untuk istirahat dan libur, baik harian maupun tahunan. Berbagai bentuk rekreasi harus diijikan dan setiap orang seharusnya mempunyai kesempatan yang sama. Di sini juga kita mesti mencari keseimbangan antara tuntutan-tuntutan hidup komunitas dan keinginan-keinginan yang wajar dari setiap individu. Pada peristiwa apapun, kita harus menghindari situasi di mana beberapa orang dapat melakukan apa yang menyenangkan karena mereka “mempunyai relasi-relasi yang tepat,” sementara yang lain hanya menjadi penonton yang pasif saja.

 

19.10   Orang sakit dan orang tua hendaklah mendapat perlakuan dan penghormatan khusus. Merawat orang sakit kiranya merupakan suatu panggilan bagi kita untuk melakukan pelayanan kristiani dalam komunitas, dan orang tua hendaklah dapat mempercayakan diri pada kebaikan hati kita dan merasa diterima dengan hangat di mana saja mereka mau tinggal.

 

19.11   Kesalehan kristiani menuntut kewajiban berdoa bagi saudara-saudara, handai-taulan, dan para dermawan kita yang sudah meninggal dan tetap mengenang mereka dengan hormat. Hal ini seharusnya dilakukan oleh kita baik secara bersama maupun perorangan.

 

19.12   Para tamu harus selalu disambut dengan hangat di tengah-tengah kita. Kita harus belajar menerima mereka dengan ramah dan menyenangkan sambil mengesampingkan kesenangan pribadi demi mereka. Hospitalitas memerlukan kebebasan dan keluwesan serta dijalankan secara sensitif. 

 

19.13   Rasa hormat pada orang-orang dalam masyarakat luas seharusnya menjadi bagian hidup harian kita dalam Ordo. Karenanya, sikap kita baik di dalam maupun di luar komunitas harus menghormati bentuk pergaulan yang baik dan sopan. Hormat itu membawa penghargaan tepat untuk saudara-saudara kita dan Ordo kita dalam pembicaraan dengan orang lain.

19.14   Dalam rangka peningkatan partisipasi kita dalam masyarakat zaman ini, ketentuan-ketentuan yang berkenaan dengan klausura diserahkan pada masing-masing komunitas.

 

19.15  Di dalam semua bidang kehidupan, marilah kita menerima kata-kata St. Paulus yang seakan-akan dialamatkan kepada kita sendiri: “Hendaklah hidupmu berpadanan dengan Injil Yesus, supaya apabila aku datang aku melihat dan apabila aku tidak datang aku mendengar, bahwa kamu teguh berdiri dalam satu roh dan sehati-sejiwa berjuang untuk iman yang timbul dari berita Injil” (Fil 1:27).

 

 

BAB V

KERASULAN

 

20.0 Inspirasi untuk Kerasulan

20.1     Hidup Kristus, semenjak pewartaan-Nya yang pertama tentang Kerajaan Allah hingga persembahan  diri-Nya yang terakhir dalam kematian, merupakan sumber inspirasi utama bagi karya kerasulan kita. Kita menerima pengutusan Tuhan yang bangkit: “Pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku…” (Mat 28:19). 

 

20.2     Karena Tuhan telah memanggil kita sebagai bagian dari Gereja untuk melayani Dia dalam diri  sesama baik pria maupun wanita, kita mau menempatkan keseluruhan hidup kita sebagai pengikut Kristus yang mengorbankan diri-Nya, bahkan sampai mati demi keselamatan orang lain. Misi pelayanan kita, yang didasarkan pada permandian,  seharusnya diperkukuh lagi dengan ikatan kita pada ketiga kaul. Dengan demikian, tindakan cinta yang makin membara, mendorong kita untuk bersatu dengan semua orang berdasarkan “Kasih Kristus mendorong kita” (2 Kor 5:14).

 

20.3     Sumber kedua adalah hidup dan karya St. Agustinus yang telah memadukan hidup kerasulan yang sangat aktif dengan hidup dalam komunitas. Dengan memilih regulanya, para saudara Salib Suci yang pertama telah memadukan pula hidup dalam komunitas kepada kehidupan apostolik dari doa dan karya. Kini kita melanjutkan tradisi tersebut, mengupayakan dalam hidup dan karya agar Kristus hadir di tengah manusia -Kristus yang berdoa bagi saudara dan saudarinya, mewartakan Kerajaan, menyembuhkan yang sakit dan membimbing  pendosa kembali kepada Allah, berbuat baik bagi semua.

 

20.4     Sumber ketiga inspirasi kerasulan kita mengalir dari keprihatinan manusiawi yang dalam yang diperlihatkan oleh manusia dalam dunia masa kini, dan dari kemurahan hati dan perhatian nyata bagi orang lain yang patut diteladani yang menjadi karakter orang-orang yang sungguh berbudi tinggi pada zaman ini.

 

 

21.0  Kerasulan dan Komunitas

21.1     Hidup dalam komunitas kita merupakan kerasulan kita yang paling langsung sebab kita dipanggil di dalamnya untuk saling melayani dalam kasih dan persatuan, dengan doa dan semua kegiataan kita lainnya.

 

21.2     Tambah lagi, hidup dalam komunitas dengan sendirinya menjadi suatu pewartaan Kabar Gembira kepada orang-orang lain. “Dengan demikian, setiap orang akan tahu bahwa kalian adalah murid-murid-Ku, kalau kalian memiliki kasih satu kepada yang lain” (Yoh 13:35).

21.3     Kita juga menyediakan diri untuk mengabdi Gereja, sesuai dengan kemampuan kita, di manapun dibutuhkan.  Hasrat kita ialah mengikuti Kristus yang telah memberikan diri-Nya sampai sehabis-habisnya di kayu Salib, dengan cara memberikan diri kita sehabis-habisnya demi kebutuhan orang lain, sehingga sungguh-sungguh “Orang-orang miskin menerima Kabar Baik” (Mat 11:5).     

 

21.4    Kesediaan untuk melayani Gereja juga berarti bahwa ada konfrater-konfrater yang dipanggil untuk melayani dalam kerasulan sebagai pelayan-pelayan tertahbis. Pelayan tertahbis ini merupakan suatu ekspresi penting dari kharisma kita dan imamat umum yang kita peroleh melalui baptisan dalam Kristus. 

 

 

22.0  Bentuk Kerasulan

22.1     Sebagai bagian Gereja universal, Ordo memperhatikan secara istimewa kebutuhan di seluruh dunia. Setiap propinsi dan komunitas lokal, diinspirasikan oleh kharisma kita dan dalam pertimbangan bersama kepemerintahan propinsi, hendaklah mempertimbangkan kegiatan kerasulannya sendiri, sesuai dengan kebutuhan Gereja lokal. Kegiatan kerasulan itu dapat berupa pekerjaan paroki, pendidikan atau hal-hal lain yang dibutuhkan. Tanda-tanda zaman harus diberi perhatian khusus sehingga kita tidak berhenti pada bentuk-bentuk kerasulan yang dulu dapat kita pertanggungjawabkan, tetapi tidak cocok lagi untuk situasi sekarang.

 

 

22.2     Berhubung kita telah dipanggil untuk mengabdi Gereja di dalam dan melalui komunitas, kita mendukung usaha-usaha pelayanan yang menuntut atau diperkaya oleh hidup komunitas dan sebaliknya mendukung hidup bersama. Bagaimanapun, kadang-kadang perlu juga bagi seorang konfrater untuk hidup dan bekerja di luar komunitasnya entah karena kebutuhan tertentu di suatu daerah atau karena ada karya yang sangat cocok dengan bakat-bakat khususnya. Karenanya, di dalam konteks propinsi yang lebih luas sebagai suatu keseluruhan, vitalitas komunitas, hati dan penjelmaan semangat Ordo kita, harus dijaga.

 

22.3     Dalam batas-batas ini, kita menerima prinsip bahwa kerasulan harus dipilih sebagai jawaban atas dua keadaan: pertama, kebutuhan-kebutuhan nyata dan mendesak dari Gereja dan masyarakat; kedua, bakat-bakat dan keterampilan personal dan dukungan keuangan yang tersedia dalam komunitas atau propinsi.

 

22.4     Mereka yang ditugasi dengan kerasulan yang bermacam-macam seharusnya mendapatkan pembinaan dan pendidikan yang memadai, dengan wewenangnya yang tepat, dan yang harus kemudian dihargai oleh para konfraternya sehubungan dengan kecakapan dalam karyanya.

 

22.5     Mereka yang terlibat dalam suatu karya kerasulan membutuhkan pengertian, penghargaan, dan sering kerjasama aktif dari anggota-anggota lain dari komunitas tersebut. Selanjutnya, kerasulan kita dapat berbuah hanya ketika ada hubungan dan kerjasama yang erat dengan para pemimpin Gereja lokal.

 

 

BAB VI

PEMBINAAN

 

23.0 Pembinaan Awal

23.1     Agar kita tetap setia pada panggilan dan menciptakan suatu kerasulan yang berbuah di dalam maupun di luar komunitas, mutlaklah bahwa kita diresapi iman yang sejati. Maka dari itu, selama tahun-tahun pembinaan awal dan latihan, kehidupan iman harus mendapat perhatian yang paling besar. Segala sesuatu yang mendukung kepada realisasi personal kehidupan iman sejati haruslah dimasukkan dalam program formasi kita.

 

23.2     Berdasarkan hal tersebut komunitas-komunitas di mana orang-orang mempersiapkan dirinya untuk bergabung dengan Ordo kita harus secara khusus sadar akan tanggung jawab mereka yang besar. Mereka harus dipersiapkan untuk berbagi dengan orang-orang ini pengalaman iman sejati, kehidupan dan doa bersama, kolegialitas, dan subsidiaritas. Refleksi atas tanggung jawab ini harus selalu menjadi suatu tugas tetap dalam kapitel komunitas-komunitas ini.

 

23.3     Setiap propinsi berwenang untuk menentukan program pembinaan awal, termasuk cara-cara dan persyaratan penerimaan. Hal tersebut harus dilakukan dalam keterbukaan terhadap perkembangan-perkembangan dalam Gereja lokal dan petunjuk-petunjuk kapitel general. 

 

23.4     Pembinaan kita harus didasarkan pada cita-cita ideal hidup dan karya kita sekarang ini, dan serentak memperhatikan apa saja yang dapat disumbangkan oleh pribadi dalam pembinan kepada kita.

 

23.5     Masa novisiat haruslah berlangsung minimal selama dua belas bulan. Akan tetapi, berdasarkan pertimbangan situasi setempat atau program kerasulan, suatu kapitel propinsi dapat menetapkan masa novisiat yang lebih panjang, tetapi tidak boleh melebihi dua tahun.

 

23.6     Komunitas kita dapat mengharapkan dari seseorang dalam pembinaan awal minimal :

 

23.6.a. Bahwa ia berkehendak untuk menjalankan hidup dan karyanya dengan serius, sesuai dengan bakat dan kemampuannya.

 

23.6.b.Bahwa ia mampu memperkembangkan dalam dirinya kepekaan akan kehadiran Allah yang tampak dalam diri orang-orang dan barang-barang, dalam Gereja dan masyarakat.

 

23.6.c. Bahwa ia berkehendak untuk menguji diri melalui apa yang dalam Injil diharapkan Kristus darinya, dan bahwa ia mendengarkan sesama manusia untuk memahami siapa dirinya dan apa tindakan yang mereka harapkan darinya, dalam dialog terbuka dengan komunitas di mana ia hidup.

 

23.6.d. Bahwa ia bekerja untuk mencapai hidup bersama yang sejati dengan orang lain, sehingga ia terbuka pada permohonan-permohonan mereka dan siap untuk  mengikatkan diri ke dalam irama hidup komunitas.

 

23.6.e. Bahwa ia melakukan usaha yang sungguh-sungguh, sesudah jangka waktu yang layak, untuk memutuskan apakah ia akan bergabung dengan komunitas kita.

 

23.7     Seseorang dalam pembinaan awal dapat mengharapkan dari komunitas kita:

  

23.7.a. Bahwa ia didampingi dalam menemukan dan memperkembangkan talenta dan bakatnya sendiri dalam konteks komunitas kita dan, kalau hal itu sungguh mungkin, diberi penugasan yang sesuai.

 

23.7.b. Bahwa pembinaan dan latihannya adalah realistis dan jujur, memperhatikan nilai-nilai personal, berangsur-angsur, dan disesuaikan pada situasi dan kemampuan-kemampuannya yang konkret.

 

23.8     Dalam rangka perhatian yang perlu kita berikan pada mereka dalam pembinaan awal, pentinglah untuk setiap propinsi bahwa ada sejumlah orang yang cukup berkompeten dalam teologi dan dalam disiplin-disiplin yang berkaitan dengan dinamika pribadi manusia.

 

 

24.0  Pembinaan Lanjut

24.1     Pada dasarnya bahwa setiap komunitas terus memperhatikan perkembangan spiritualitas, personal, dan intelektual semua anggota. Untuk kita semua studi dan refleksi adalah syarat mutlak demi realisasi efektif dari cita-cita pembaktian kristiani kita kepada manusia. Kita harus belajar untuk mengenal kebudayaan kita, berpartisipasi di dalamnya dan mampu untuk meninjaunya dengan kritis. Sebagai bantuan untuk hal itu, kita harus memanfaatkan alat-alat komunikasi modern.