BERKACA DARI GAYA ALLAH MENCINTAI REFLEKSI TAHBISAN IMAMAT 

||Kfr. Konstantinus Frederikus Jawa, OSC

“Sebab banyak yang dipanggil, tetapi sedikit yang dipilih”

(Bdk. Mat. 22:14)

Kutipan Injil Matius 22:14 di atas, sering digemakan untuk menggambarkan hidup panggilan menjadi imam Gereja Katolik. Banyak orang yang dipanggil untuk mengalami dinamika hidup pra-imamat, tetapi sedikit orang yang boleh menerima dan mengalami rahmat imamat. Ungkapan Yesus pada 2000-an tahun yang lalu itu, sungguh sangat relevan di masa sekarang dan boleh jadi di masa yang akan datang. Oleh karena itu, dalam keterpukauan atas rahmat imamat suci yang baru saja saya peroleh dari Allah, muncul pertanyaan; Apa yang melatarbelakangi sedikit saja orang yang boleh menerima dan mengalami rahmat imamat suci dari Allah? Padahal dari kaca mata duniawi, menjadi seorang imam sungguhlah menyenangkan. Segala macam kebutuhan dan/atau keinginan manusia duniawi terpenuhi; kehormatan, sanjungan, perhatian, cinta, pemenuhan sandang, pangan, dan papan. Lantas, mengapa hanya sebagian orang yang dipilih untuk menerima dan mengalami itu semua? Atau adakah rencana Allah memilih sedikit orang saja?

Menerima sakramen tahbisan (sacramentum ordinis), pertama-tama bukanlah terarah pada pemenuhan keinginan dan/atau kebutuhan manusia duniawi, melainkan pemenuhan kebutuhan manusia rohani. Oleh karena itu, setiap orang yang mengemban imamat jabatan harus menampilkan diri sebagai pelayan-pelayan suci dengan menampilkan diri dan melayani umat, seperti dan bersama Yesus Kristus sendiri, Sang Imam Agung.1 Mengambil peran Yesus untuk melayani umat Allah di dunia, dibutuhkan kecakapan dalam penghayatan dan pemaknaan hidup manusia rohani.2 Kecakapan dan penghayatan ini, bukanlah proses singkat, melainkan proses panjang yang menuntut hati, pikiran, dan kehendak untuk dibentuk menjadi manusia rohani. Menjadi manusia rohani berarti mengalami perjumpaan dan kedekatan setiap saat dengan Tuhan Allah, uskup, imam (kolegialitas imam), dan umat Allah.3 Keempat relasi ini menjadi penopang hidup seorang imam dengan melandasi kedekatan seturut ‘gaya Allah’, yaitu kedekatan, bela rasa, dan kelembutan.

Formasi yang Memadai

Menerima sakramen tahbisan imamat berarti berkomitmen untuk menjadi saksi dan pelayan sebuah persekutuan, yakni persekutuan Allah. Dengan kata lain, Allah sebagai sumber dan tujuan dari kesaksian dan pelayanan seorang imam. Menjadi saksi dan pelayan Allah membutuhkan komitmen untuk setia, taat, dan teguh melayani Allah dalam kondisi apa pun dan di mana pun.  Komitmen ini bukanlah sebuah proses singkat dan mudah, melainkan proses panjang yang melibatkan banyak orang dengan struktur dan konsep menuju manusia rohani.

Saya menyadari bahwa proses panjang yang telah saya lewati untuk menjadi orang yang dipilih Allah bukanlah semata-mata karena kebisaan personal yang saya miliki, melainkan karena penyertaan Allah semata. Penyertaan Allah ini saya alami lewat orang-orang di sekitar, seperti keluarga, teman-teman seperjuangan, para formator, dan umat yang dijumpai. Penyertaan Allah lewat sapaan, apresiasi, teguran, maupun peringatan menjadi kesempatan bagi saya untuk terus bertumbuh dalam iman dan karakter. Secara detail, proses pembentukan menjadi imam yang taat, setia, dan teguh kepada Allah, saya peroleh lewat proses formasi di Ordo Salib Suci. Di ordo ini, saya boleh ditempa untuk berdamai dengan diri sendiri (pengalaman masa lalu) hingga akhirnya boleh mengalami perjumpaan dengan diri sendiri, sesama, dan Tuhan Allah. Melalui pendampingan ini, saya boleh mengalami pemurnian motivasi panggilan secara terus-menerus untuk mengabdi Allah dengan setia dan ketaatan.

Menerima sakramen tahbisan imamat, bukanlah garis finish dari perjuangan saya menuju imam yang setia dan taat kepada Allah. Perjuangan ini akan terus berlanjut dan mengundang tantangan-tantangan berikutnya. Oleh karena itu, berbekal masa formasi yang memadai bertahun-tahun di OSC saya akan terus diingatkan dan dibentuk menuju kesetiaan dan ketaatan kepada Allah. Komitmen ini, saya wujudkan melalui pelayanan kepada umat sesuai ‘Gaya Allah’, yakni imam yang memiliki kedekatan, bela rasa, dan kelembutan.

Rahmat Tak Terhingga

Tak bosan-bosannya, saya mengungkapkan bahwa Allah adalah inisiator utama dalam kehidupan, khususnya hidup saya sendiri. Bersama dan dalam Dia, segala pengalaman diri yang sulit, berat, pesimis, tanggung, dan canggung boleh berjalan sampai pada harapan walaupun dengan tertatih-tatih. Berkaca pada pengalaman duniawi yang telah saya lalui, kiranya saya tak pantas untuk menerima rahmat besar Allah, yakni rahmat tahbisan imamat. Berbekal cinta Allah yang tiada tara, saya boleh ditempa dan pada akhirnya secara mantap dan teguh berkomitmen menjadi perpanjangan tangan Putra-Nya (In Persona Christi) dalam perjumpaan dengan sesama. Rahmat ini tak bisa digambarkan dengan kalimat-kalimat puitis yang memanjakan telinga dan hati, tetapi dapat dirasakan dan dilihat wujudnya dalam dinamika hidup saya sehari-hari. Oleh karena itu, tak mengherankan jika seluruh dinamika tahbisan menjadi salah-satu ‘peringatan’ bagi saya ketika berada dalam situasi kering dan kosong.

Rahmat tak terhingga dari Allah ini, saya peroleh lewat penumpangan tangan uskup dan para imam yang jumlahnya tidaklah sedikit. Lewat penumpangan tangan dan doa konsekrasi (precatio consecratoria) oleh uskup dan para imam, saya menerima misi dan fakultas untuk bertindak dalam pribadi Yesus Kristus imam kepala. Dalam proses penumpangan tangan oleh uskup dan para imam yang hadir, saya mengalami pengalaman iman dan tantangan untuk menjadi imam yang kudus. Dalam proses tersebut, saya mengalami secara riil ‘transfer rahmat’ dari tangan uskup dan imam berupa energi panas pada kepala. Setiap tangan yang ditumpangi di atas kepala saya, memiliki energi panas yang berbeda-beda. Pengalaman menerima perbedaan energi panas yang saya alami, spontan membentuk pola pikir, bahwa energi panas/hangat yang saya rasakan dihasilkan dari tangan imam-imam yang memiliki kekudusan. Hal ini, sontak menantang serta mendorong saya agar yakin, berani, siap, dan teguh untuk menjadi imam yang berorientasi pada kekudusan lewat perjumpaan dengan Allah, uskup dan pemimpin ordo, para imam, dan umat Allah lewat “Gaya Allah”, yaitu kedekatan, bela rasa, dan kelembutan.

Melayani Sesuai “Gaya Allah”

Rahmat tahbisan yang saya peroleh, serta merta mendatangkan kuasa rohani dalam diri saya. Kuasa rohani ini, memberikan dampak bagi mereka yang menerima rahmat tahbisan untuk memuliakan Allah atau memuliakan diri sendiri. Tentunya harapan dan pada hakikatnya ialah mewartakan dan memuliakan Allah. Pewartaan dan pemuliaan Allah mesti dilandasi oleh ‘Gaya Allah’ melayani, yaitu dalam semangat kedekatan, bela rasa, dan kelembutan. Hal ini bukanlah hal mudah untuk diwujudkan. Oleh karena itu, komitmen untuk berjalan bersama Allah, uskup dan/atau superior, imam yang lain, dan seluruh umat menjadi penopang hidup seorang imam dalam perwujudan kuasa rohaninya.

Saya menyadari bahwa menerima rahmat tahbisan suci semata-mata karena kehendak dan penyertaan Allah sendiri. Allah menghendaki saya untuk menjadi saluran kasih dan sabda-Nya di tengah dunia. Oleh karena itu, memiliki kuasa rohani bukan semata-mata karena kebisaan dan kemampuan yang saya miliki, melainkan pertama-tama  karena Allah menyertaiku. Penyertaan Allah inilah yang memberanikan diriku dalam ketidaklayakan dan kedosaan untuk mengabdi pada-Nya dengan kesetiaan dan ketaatan. Penyertaan Allah ini pula, saya tanggapi melalui; pertama, usaha kedekatan dengan Allah secara terus-menerus lewat doa secara personal maupun komunal, ekaristi, dan devosi.

Kedekatan dengan Allah saya maknai sebagai pemurnian diri untuk semakin peka akan ‘luka’ orang-orang yang saya layani. Kedekatan ini pula, memampukan saya untuk menghadapi saat-saat sulit dalam dinamika kehidupan imamat. Oleh karena itu, saya menyadari bahwa doa adalah pilihan hati dan sumber untuk bergerak melayani Allah sendiri. Kedua, usaha kedekatan dengan uskup dan/atau superior ordo tempat saya bertumbuh, berkembang, dan mengabdi. Kedekatan dengan uskup dan/atau superior membawa saya pada pemaknaan ketaatan sebagai sebuah ikatan yang mempersatukan dalam pelayanan. Kedekatan ini, menjadi kesempatan bagi saya untuk mendengarkan firman Allah dalam ikatan dengan orang lain. Ketiga, usaha kedekatan dengan imam yang lain sebagai sebuah kolegialitas para imam. Dalam kolegialitas ini, saya diajak untuk membangun persaudaraan mendalam, yaitu perjumpaan bukan untuk memenuhi kebutuhan personal, melainkan bersama mengejar kekudusan dengan mengandalkan kerahiman Allah. Keempat, usaha kedekatan dengan umat Allah. Kedekatan ini menjadi salah satu tujuan Allah memilih saya menjadi imam. Melalui kuasa rohani sebagai seorang imam, saya dipanggil untuk dekat dengan umat sebagai wujud kedekatan dengan Allah. Oleh karena itu, dalam hidup doa dan pelayanan sebagai seorang imam, umatlah yang harus menjadi agenda besar dalam pewartaan Sabda Allah dengan semangat kedekatan, bela rasa, dan kelembutan.

Cor Unum et Anima Una in Deum

 

Refrensi

1.Bdk. Yohanes Paulus II (promulgasi), Kitab Hukum Kanonik (Codex Iuris Canonici), (Jakarta: KWI, 2016), Kan. 1008, tentang Tahbisan dan KWI, Redemptionis Sacramentum (Sakramen Penebusan), (Jakarta: Obor, 2004), Art. 30 tentang para imam.

2. Mgr. Antonius Subiyanto, OSC, “Menjadi Imam adalah orang yang pertama-tama di sebut rohaniwan; ahli di bidang rohani  yang memiliki kedekatan dengan Tuhan Allah (mengandalkan Tuhan), dalam homili misa tahbisan imam, (Rabu, 23 November 2022), Pkl. 17:00 WIB.

3. Paus Fransiskus, Simposium Teologi tentang Imamat, (Roma: 17 Februari 2022).

4. Pst. Postinus, OSC, “Menjadi pelayan-pelayan suci dengan komitmen untuk bersaksi, teguh, dan bertahan dalam mewartakan ajaran Kristus dalam segala kondisi kehidupan, dalam pengantar misa tahbisan imam, (Rabu, 23 November 2022), Pkl. 17:00 WIB.

 

Categories:

Tags:

No responses yet

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.