Nilai-Nilai Khas OSC
Pengantar
Kapitel Provinsi 2016 memunculkan beberapa nilai yang dianggap sebagai khas OSC, yakni communio, hospitalitas, dan gratuitas. Uraian ini hendak menyoroti nilai-nilai khas tersebut dari sudut historis, lalu menariknya ke jaman sekarang sebagai spiritualitas yang semestinya mewarnai hidup para krosier. Namun, selain ketiga nilai di atas masih ada beberapa nilai lain yang bisa dikedepankan, dan secara nyata ada di dalam sejarah ordo: simplisitas dan humilitas. Gratuitas dalam paper ini lebih dilihat sebagai makna di balik devosi salib.
1. Communio – komunitas
Sejak awal, ketika OSC memilih regula St. Agustinus (yang wajib sejak abad ke-13 untuk ordo-ordo Kanonik Regulir) dan mengambil alih Institutiones Dominikan, sudah tersurat dan tersirat, bahwa hidup berkomunitas sebagai communio merupakan ciri khas ordo.
Regular Kanonik yang mengedepankan milik bersama dan hendak kembali ke vita patrum didukung oleh tujuan St. Agustinus yang terungkap dalam regulanya. Kelompok religius santo Agustinus berusaha membentuk satu communio sebagai wujud kasih kepada Allah yang konkrit. Bagi Agustinus, caritas kepada Allah itu terwujud secara konkret dalam caritas kepada sesama.
Sembilan puluh persen Institutiones Dominikan diambil alih oleh OSC menjadi Konstitutiones Ordo sanctae crucis. Di situ diatur secara detail, bagaimana anggota priorat menjalankan hidup sehari-hari, secara bersama-sama. Tidak ada kamar tidur privat, tidak ada ruang belajar privat: semua dilakukan bersama. Para anggota priorat memilih pemimpin mereka secara bersama; para anggota priorat mengadakan kapitel untuk membicarakan persoalan secara bersama. Di balik aturan detail ini tersirat, bahwa OSC menekankan nilai yang berada di balik kategori “kanonik regulir” dan tujuan “Regula St. Agustinus”: hendak tampil sebagai sebuah communio.
Konstitusi OSC yang baru, sesudah konsili Vatikan II, mempunyai bentuk yang berbeda. Konstitusi ini tidak sedetail sebagaimana konstitusi-konstitusi mulai 1245 sampai dengan 1925. Namun, di satu bagin dikatakan: Kerasulan utama dan pertama ordo salib suci adalah hidup berkomunitas. Ini adalah intisari yang tercakup dalam seluruh konstitusi sebelumnya (bdk. Konstitusi OSC).
2. Simplisitas (Kesederhanaan) dan Humilitas (Kerendahan hati)
Kfr. Maman Suharman pernah menterjemahkan sebuah tulisan dari R. Janssen yang hendak menjawab pertanyaan, apakah ordo salib suci didirikan sebagai ordo pengemis, misalnya seperti Fransiskan? Pertanyaan ini masuk akal karena ordo pernah mempunyai “kewenangan” untuk mengemis. Tapi, memang, mengkategorikan OSC sebagai ordo pengemis tidak mendapatkan pendasaran yang kuat. OSC yang diapprobasi tahun 1248 bisa lolos melewati Konsili Lyon II (1274). Dalam Konsili ini diputuskan untuk membubarkan demikian banyak ordo pengemis. Memang, alasan ini pun tidak seratus persen menjawab persoalan. Kalau misalnya OSC dulunya seperti Fransiskan yang mempunyai “backing” kuat atau dinilai pantas untuk jelan terus, bagaimana? Satu dokumen yang bisa menjawab dengan pasti adalah bulla pendirian religiosam vitam eligentibus (1248), yang menyatakan bahwa fratres ordinis sanctae crucis didirikan sebagai canonicus.
Meskipun begitu, semangat kemiskinan jangan dicoret begitu saja dari OSC. Memang dalam formulasi kaul hanya ada ketaatan. Namun, kemiskinan dalam bentuk kesederhanaan itu nampak, bahkan dalam pengaturan yang detail.
Jangan dilupakan, bahwa Eropa abad ke-12/13 dilanda kemiskinan, meskipun Gereja sebagai institusi itu kaya. Di tengah kemiskinan ini lah gerakan-gerakan kemiskinan menemukan lahan mereka, baik itu kelompok heterodoks (katari, albigenses) maupun gerakan kemiskinan yang ortodoks (ordo-ordo pengemis).
Ordo Salib Suci – yang walaupun ordo kanonik regulir, yang mulai muncul pada abad ke-11 – tidak mungkin tidak, dipengaruhi oleh ideal kemiskinan ini. Memang, OSC tidak menjadi seperti Fransiskan, tetapi kesederhanaan sudah menjadi ciri dari OSC.
Dalam konstitusi tertua OSC yang diambil alih dari institusiones Dominikan, ada perubahan jika dibandingkan dengan aslinya (milik Dominikan). Dalam aturan membangun gereja dan rumah, OSC mengubah aturan tinggi bangunan lebih rendah dibandingkan dengan Dominikan.
Dominikan (OP) |
OSC 1245/1248 |
1868 |
1925 |
Mediocres domos et humiles fratres nostri habeant ita quod murus domorum sine solario non excedat in altitudine mensuram duodecim pedum cum solario vigintiEcclesia triginta, fiaat lapidibus testudinata, nisi forte super chorum et sacristiam…. |
Mediocres domos et humiles habeant fratres nostri, ita quod murus domorum cum solario non excedat quindecim pedum mensuram, sine solario decem et ecclesia vigintiEt non fiat testudinata lapidibus nisi forte super chorumet sacristiam… |
Mediocres domos habeant fratres nostri, ita quod murus domorum cum solario non excedat quindecim pedum mensuram, sine solario decem et ecclesia vigintiEt non fiat testudinata lapidibus nisi forte super chorumet sacristiam… |
Mediocres domos habeant fratres …solida at non sumptuosa. |
Sumber: De Gruijter, H.J.M., Constitutionum Hexapla, unpublished.
(Saya masih teringat waktu kunjungan ke eks biara OSC di Jerman: Hoehenbusch. Biara ini terkenal kaya. Ruang priorat dilengkapi dengan kamin (perapian) yang bagian atasnya dihias. Kata salah seorang konfrater: “Ini satu-satunya kamin prior yang dihias. Di tempat lain tidak ada!”.)
Persoalan kerendahan hati/ kesederhanaan bisa ditangkap lewat peristiwa lain. Saat Magister General Hollmann ( – 1927) membicarakan kemungkinan menstudikan konfrater muda ke tingkat yang lebih tinggi, seorang definitor, L. Honhon, mengatakan, “Jangan… nanti mereka akan menjadi tinggi hati. Dari dulu ordo kita menekankan kerendahan hati”. Meskipun demikian, Hollmann tetap menyekolahkan banyak konfrater muda sampai ke tingkat doktorat.
3. Hospitalitas
Piet van den Bosch dalam bukunya Sie Teilten Mit Jedermann (Köln, 1978) menunjukkan, bahwa banyak biara di Perancis (abad ke-14) dan Jerman (abad ke-15) memiliki “hospital”: untuk orang sakit dan untuk peziarah yang lewat.
Data ini menunjukkan, bahwa OSC sudah memiliki bentuk pelayanan demikian hampir sejak awal. Namun, ketika van den Bosch merujuk ke tulisan A. Van de Parsch, untuk mencari dasar tertulis dalam konstitusi, beliau terlalu cepat (van den Bosch, 33). Dalam tulisan singkatnya tentang masalah ini, van den Bosch menunjuk beberapa kata, yang memperlihatkan bahwa dalam konstitusi pun sudah diatur pelayanan ini: infirmarii, receptores hospitum, domus hospitium, ruang makan pertama dan ruang makan kedua.
Keraguan atas pendasaran bisa dilihat dari makna terminus dalam konteks Konstitusi tertua. Semua terminus yang dimaksud diambil dari bab 5 de Cibo (makan) dan bab 7 de Infirmiis (orang sakit). Bab 5 berbicara tentang infirmarii (perawat), receptores hospitum (tugas menerima tamu), prima atau secunda mensa yang oleh van den Bosch diterjemahkan sebagai ruang makan. Bab 5 sebenarnya berbicara tentang prima mensa untuk servitores dan custodes. Semua krosier lain tidak boleh ambil bagian (ikut makan?) pada mensa ini. Namun, menterjemahkan servitores dan custodes sebagai para tamu, adalah problematik.
Istilah receptores hospitum dan domus hospitium bisa saja merujuk ke rumah tamu. Namun, rumah tamu seperti apa? Tidak ada sumber lain yang bisa menjelaskan. Sedangkan istilah infirmarii tidak berbicara tentang kewajiban untuk merawat orang sakit yang bukan anggota ordo. Kata ini diambil dari bab 7 yang berbicara tentang kewajiban para konfrater untuk merawat konfrater lain yang sakit.
Catatan lain: Kalau tidak begitu, kita harus mengandaikan, bahwa Ordo Predicatorum (Dominikan) melakukan karya yang sama. Sebagai kesimpulan, kalau pun ordo di kemudian hari – satu abad kemudian – mengambil alih karya yang demikian, itu sudah terbukti. Karya tersebut bisa saja merupakan interpretasi atas kebutuhan jaman karena kategori sebuah ordo tidak membuat ordo-ordo menjadi seragam seratus persen.
Sejarah ordo di abad ke-14 dan awal ke-15 juga harus menjadi bahan penelitian di kemudian hari, jika kita memperhatikan, bahwa ordo pada Kapitel General 1410 memutuskan untuk kembali ke awal; mengadakan reformasi, dengan membuang semua keputusan-keputusan sebelum 1410.
4. Salib
Tidak terungkap secara jelas, mengapa OSC pertama memilih nama fratres sanctae crucis. Usaha untuk mencari pendasaran sudah dilakukan misalnya oleh manuskrip-manuskrip abad ke-14 dan 15. Menurut manuskrip-manuskrip tersebut Ordo Salib Suci adalah kelanjutan dari Kanonik Yerusalem yang ditugasi oleh Santa Helena menjaga salib Yesus. Beberapa manuskrip dari abad ke-16 menyebut nama Yudas Quiriacus sebagai pimpinan Kanonik tersebut. Manuskrip tersebut juga menggambarkan situasi perang salib yang melatarbelakangi lahirnya OSC. Manuskrip lainnya menyebutkan, bahwa 5 orang kanonik Allemania mendirikan OSC di abad ke-13. Henricus Russelius dalam buku Chronicon Cruciferorum (Koeln, 1635) menyebut nama Theodorus de Celles yang ikut dalam perang salib dan berteman dengan Dominicus de Guzman (pendiri OP) sebagai pendiri OSC.
Terlepas dari sumber yang 100 tahun atau bahkan 400 tahun setelah kelahiran OSC, satu hal penting yang perlu diingat adalah, bahwa salib pada jaman-jaman itu dilihat sebagai tanda kemenangan. Maka, tidaklah salah, kalau OSC mengambil motto In Cruce salus; In hoc signo.
Kalau pun di kemudian hari lahir devosi-devosi salib, maka bentuk ini tidak bertentangan, tetapi justru memperkuat intensi, bahwa salib mendapat tempat istimewa dalam Ordo Salib Suci, sebagaimana terpancang pada skapulir.
Relevansi untuk sekarang
1. Communio – Komunitas
Kita sering menggunakan kata “kebersamaan” untuk menggantikan kata communio. Sebenarnya, agak susah merangkum kata communio dengan kata kebersamaan. Cita-cita para regulir kanonik adalah menjadi seperti para rasul; Ideal mereka adalah vita patrum. Dalam Kisah Rasul tergambar, bagaimana para rasul berkumpul dan berdoa (memecahkan roti) dan saling berbagi, sehingga mereka menarik banyak orang untuk bergabung.
Jadi, communio bukanlah sekadar kebersamaan dalam artian ramai-ramai sebagai kelompok. “Sehati dan sejiwa menuju Allah”, kata Agustinus menegaskan ideal kanonik regulir ini. Dengan begitu, ada aspek-aspek yang dilampaui dalam kebersamaan (dalam artian bareng-bareng). Communio membentuk satu hati dan menuju Allah. Kalau satu hati menuju yang lain … itu bukan communio.
Konstitusi sesudah Konsili Vatikan II menekankan, bahwa “komunitas adalah kerasulan yang pertama dan utama”. Komunitas Salib Suci adalah tempat utama dan pertama untuk “merasul” dalam artian menyampaikan warta Allah, menjadi utusan di tengah komunitas sendiri. Ini mencerminkan cita-cita St. Agustinus yang menegaskan, bahwa caritas kepada Allah terwujud dalam caritas dalam komunitas yang konkret.
2. Simplisitas – Humilitas
Simplisitas dan humilitas dapat tergambar dalam berbagai sikap lahiriah. Misalnya, OSC konon pernah terkenal di KAM sebagai orang-orang yang tidak mempersoalkan fasilitas; pokoknya melayani. Ini adalah cerminan simplisitas. Kalau ada pastor yang mengatakan, “Tak apa-apa, saya akan pergi sendiri, tak usah dijemput”, ini juga cerminan simplisitas. Simplisitas seperti ini adalah sikap tak menuntut dari orang lain, tetapi sebaliknya sikap memberi kepada orang lain.
Humilitas itu kebalikan dari kesombongan (superbia), yang kata Agustinus adalah kecenderungan manusia. Kerendahan hati merupakan sikap “mendahulukan yang lain” daripada diri sendiri, entah itu Allah entah itu sesama manusia. Bukan saya yang penting, tetapi Allah; bukan saya yang didahulukan, tetapi yang lain.
3. Hospitalitas
Hospitalitas itu sering diterjemahkan sebagai keramah-tamahan. Di balik sikap ramah-tamah ada satu sikap yang lebih mendalam, yakni keterbukaan dan kesediaan menerima yang lain, bahkan mereka yang bukan kelompok kita. Ini bisa dilihat sebagai realisasi cinta kepada Allah di dalam sesama manusia.
4. Devosi Salib
Perang salib mungkin benar untuk jamannya. Tapi, kalau orang membaca sejarah dengan benar, orang tidak memberikan apresiasi yang tinggi kepada perang salib. Perang salib ternyata bukan murni perang agama, tetapi perang yang juga berbaur dengan ambisi politik.
Yang perlu dilihat adalah, bagaimana salib menjadi simbol bagi iman kristiani. (Catatan: istilah perang salib ini pun sering dipakai untuk perang melawan kaum bidaan, misalnya kaum albigenses di Perancis selatan). Namun, salib sebagai simbol tanpa memandang siapa yang bergantung di atasnya, atau mengapa itu terjadi, dapat membuat simbol salib menjadi kehilangan makna.
In Cruce Salus (Pada salib ini keselamatan) dan In hoc signo (pada tanda ini) menunjukkan, bahwa Allah menyelamatkan (lewat Yesus yang dipaku dan dibunuh) pada salib ini. Devosi salib sudah semestinya mengarahkan mata hati kemballi kepada ini. Maka, ada beberapa poin untuk spiritualitas yang bisa diambil dari salib ini:
5. Gratuitas
Kata “gratuitas” mungkin berasal dari gratuity yang diterjemahkan sebagai memberi dengan cuma-cuma, spontan. Di balik ini ada sikap tanpa perhitungan, tanpa menimbang-nimbang harus memberi apa dan memberi sebesar apa, dsb. Kata yang bisa dianggap sepadan adalah “mercy”, kemurahan hati.
Salib bisa dimaknai sebagai gratuitas atau mercy kalau kita memandang salib sebagai tempat Yesus bergantung. Di situ Allah mencintai manusia sehabis-habisnya. Ini bisa menggantikan kata yang sudah usang, yakni “berkurban”. Konotasi berkurban itu negatif: ada sesuatu yang sengaja dihilangkan demi sesuatu yang lain. Maknanya kurang lebih sama. Kalau orang gratuit, kalau orang merciful, maka pastilah dia melepaskan sebagian dari keegoannya, dari kegembiraannya, dari apa pun yang dia senangi.
6. Heroisme
Kata ini mulai hilang dari peredaran, padahal dulu kita selalu bangga dengan kata ini. Pemanggul salib adalah seorang yang berjiwa heroik, yang tidak cengeng karena halangan, yang tidak mengeluh karena kesusahan, yang tidak lari kalau ada tembok yang menghalang. Sikap heroik sebenarnya adalah sikap Yesus yang dipaku di salib itu. Dia tidak lari walaupun berkeringat dingin pada saat berdoa di taman Getsemani. Dia tidak menghindar ketika mesti berkonfrontasi dengan orang-orang “berkuasa” seperti ahlli taurat, para imam, dan mahkamah agama. Dia tidak gentar ketika dihadapkan pada kuasa duniawi seperti Pontius Pilatus. Kuncinya hanya satu: dia membawa kebenaran.
Bandung, 8 Maret 2017
Leonardus Samosir, OSC