Perjalanan Ordo Salib Suci

 

(1) Jejak Prakarsa, Abad XII-XIV

 

Jejak langkah pertama pendirian Ordo Salib Suci tak terlepas dari fragmen peristiwa sejarah kristiani di abad kedua belas. Di abad itu, sejarah kristiani diwarnai dengan berbagai konflik baik di dalam maupun di luar Gereja sendiri. Tubuh Gereja terpecah-pecah dalam gelombang Skismatik yang tak lagi menghayati persatuan gereja secara utuh. Tak lama kemudian, Perang Salib dicanangkan demi mempertahankan sumber sejarah di tanah Suci. Ditambah lagi macam-macam ajaran sesat bermunculan yang menggoyahkan sendi iman Gereja. Masa tersebut terlihat suram di berbagai segi, termasuk dalam kehidupan umat kristiani dan hidup religius. Namun, kesuraman itu tak berarti menjadi gelap. Sikap kritis untuk menghalau kesuraman menumbuhkan beberapa bentuk kelompok hidup religius baru. Bentuk kehidupan yang dipilihpun lebih konkrit menatapi situasi suram itu dengan keberanian menggagas cara-cara baru.

 

Tak lupa, cara dan gagasan baru itu tetap menghayati berbagai pondasi tradisi hidup religius yang masih dianggap bernilai di zamannya. Kala itu, gerakan hidup bertapa sendirian diperbaharui dalam gerakan hidup berkelompok. Tak hanya hidup dalam kelompok komunitas, di abad ketiga belas gerakan kelompok religius mendicantes atau ordo pengemis lahir untuk memprotes kemewahan dalam kehidupan kota. Dan gerakan predicatori yang menganut pewartaan apostolik dalam doa, karya, dan mati raga juga menjadi warna lain yang memperbaharui wajah Gereja.

 

Theodorus de Celles, putra bangsawan dan mantan ksatria perang salib itu, bersama beberapa rekan tergerak untuk berprakarsa mewujudkan cita-cita hidup bersama sebagai biarawan. Uskup Liege memberikan kesempatan bagi mereka untuk mengurus kapel St. Theobaldus di kota Huy, Belgia Selatan. Prakarsa itu dimulai dengan membangun hidup bersama melalui devosi salib dalam doa dan ibadat harian; semangat apostolik dalam karya di sekitar kapel Theobaldus, hingga ada kisah istimewa terjalin dengan kapel itu. Pada akhir Agustus 1066, ada sinar terpendar di sebelah tenggara kota  Huy, di luar kota, di bawah pohon oak (ek). Sinar itu merambat dari kaki bukit yang terjal. Orang sekitar menganggapnya sebagai tanda dari surga. Rakyatpun menamai tempat ajaib ini; tempat bercahaya, panti terang, Clair-Lieu, Clarus Locus. Jejak prakarsa pendirian Ordo Sanctae Crucis  direkam pada awal abad ke-13, tahun 1210.

 

Kelompok ini memilih nama Ordo Sanctae Crucis Canonicorum Regularum Sub Regula S. Augustini, yang kemudian hari dipersingkat menjadi Ordo Sancte Crucis atau OSC, kelompok kanonik regular, pecinta liturgi, yang bersandar pada Regula St. Agustinus. Lalu, pada tanggal 1 Oktober 1248, Paus Innocentius IV menganugerahkan bulla Religiosam vitam eligentibus kepada prior Sanctae Crucis de Claro Loco (Salib Suci dari tempat bercahaya) dan menetapkan bahwa ordo kanonik yang melaksanakan Regula St. Agustinus harus dilestarikan untuk selama-lamanya. Sejak saat itu, Ordo Sanctae Crucis, dengan membawa bekal pro negotio Crucis, berbakti demi kepentingan salib, OSC mulai melebar ke Prancis, Inggris, Skotlandia, Jerman, dan Belanda.

 

 

 

(2) Jejak Pencarian Jati Diri, Abad XV-XVII

 

Kehidupan membiara OSC begitu semerbak dengan harum kekayaan rohani dan mutu hidup. Ini semua karena hidup yang ditata dengan disiplin, doa yang terawat, dan studi yang giat. OSC membuka lebar-lebar jendelanya, maka Devotio Moderna pun berhembus ke dalam biara. Humanisme mulai bergulir ke dalam biara, maka tak mengherankan bila pada masa ini perpustakaan dan scriptorium (tempat penyalinan naskah-naskah) dibangun di dalam biara. Beberapa manuskrip yang bernilai seni tinggi masih tersimpan di biara Santa Agatha, Belanda. Abad gemilang ini juga ditandai dengan dibangunnya banyak biara OSC di Eropa.

 

Sebelum abad keenam belas, para anggota Ordo Sanctae Crucis menjajaki upaya untuk merintis aturan dan konstitusi sebagai identitas bersama melalui beberapa peristiwa kapitel jeneral. Devosi salib dan hidup sebagai biarawan kanonik regulir ternyata berbuah nyata dalam perkembangan biara-biara, hingga kurang lebih tujuh puluh jumlahnya. Ordo Salib Suci boleh dikatakan sedang bertumbuh matang. Namun ketika pencarian identitas yang ajeg sedang diupayakan, sejarah Gereja di Eropa diwarnai lagi dengan berbagai gerakan Reformasi. Tentu OSC tak luput dari hantaman akibat gerakan ini. Seolah pengaruh reformasi hampir memupuskan harapan OSC untuk berkembang. OSC berupaya bertahan dan mencari-cari cara agar para anggotanya tetap bertahan, sambil mengatasi ancaman rontoknya beberapa komunitas yang tak mampu bertahan hidup secara ekonomis karena tak ada umat yang mendukung keberadaan gereja katolik di berbagai wilayah Eropa. OSC juga seperti kehilangan arah. Maka, jejak pencarianpun dimulai dengan tetap memperkuat identitas tradisi Ordo dengan menyalin ulang buku liturgi yang unik dalam bentuk miniatur seperti karya Johanes van Deventer. Kolose Latin dihidupkan kembali. Hempasan humanisme juga mendesak pimpinan ordo untuk mengatasi gerakan itu dengan menceburkan diri ke dalam dunia pendidikan kaum muda. Di awal abad ketujuhbelas, OSC mulai memantapkan diri dengan ikut bergelut dengan dunia akademis di pelbagai universitas di Eropa. Semangat pencarian jati diri di tengah hempasan reformasi memercikkan devosi kultus Salib yang semakin dijunjung di hati para anggota Ordo.

 

 

 

(3) Jejak Masa Pudar, Abad XVIII-XIX

 

Di abad kedelapanbelas, Eropa diliputi peristiwa yang bukan sekedar menimbulkan pergolakan fisikal, namun juga perubahan cara pandang dimensi sosio-kultural masyarakat. Pengaruh itu cukup menerjang badai hidup spiritual kelompok religius, termasuk para anggota Ordo Salib Suci. Gelombang sekularisasi, gerakan revolusi di Prancis dan abad Pencerahan mengubah cara pandang masyarakat terhadap kristianitas dan agama. Hal itu lambat laun membumbui gejolak internal Ordo juga.

 

Ordo pada masa ini mengalami banyak pertentangan di antara para anggotanya berkaitan dengan hidup bersama dan kebebasan probadi. Penghayatan kaul kian terasa makin luntur, hidup membiara seolah tak ada gregetnya lagi. Semua dianggap basi dan tak memenuhi cara berpikir sekular. Menyedihkan, Ordo masuk dalam masa suram, cita-cita hidup religius terasa makin memudar. Para prior berupaua mengatasi hal tersebut dengan berbagai cara dan kebijakan, tetapi, tak membendung gejolak ini.

 

Hingga suatu saat, biara-biara Ordo Salib Suci pun ditinggalkan anggotanya karena situasi kebijakan politik dan konflik internal yang tak memungkinkan biara dan komunitas-komunitas tetap bertahan. Bersamaan dengan wafatnya Prior-Jeneral Jaques Dubois di tahun 1796; biara pertama OSC di Hhuy, di tempat bercahaya itu ditutup.

 

Ada beberapa konfrater OSC di daerah diaspora, di Uden dan di St. Agatha, berupaya bertahan walau nasib mereka digerus oleh kebijakan pemerintah tahun 1814. Kebijakan itu mengharuskan agar tak menerima novis atau calon kandidat baru, karena OSC digolongkan sebagai ordo kontemplatif. Tak adanya regenerasi dan terhalangnya OSC untuk menerima calon baru membuat nafas kehidupan OSC nyaris putus.

 

Kala itu, hanya tinggal empat konfrater OSC mempertahankan nyawa dan cahaya OSC yang hampir pudar. Di perjalanan usia hidup yang terus bertambah, mereka tiada henti berharap agar ada angin segar kebijakan politik yang membuat OSC bangkit lagi dari masa koma.

 

 

 

 

(4) Jejak Pemulihan, Abad XIX-XX

 

Angin segar mulai menghembusi nafas OSC kembali. Pergantian tahta kerajaan Belanda memberi jalan baru kebijakan politik bagi Ordo. Keempat konfrater yang dipimpin prior Jakobus van Winden bahkan tak sabar untuk menerima seorang imam sekulir berusia 40 tahun, Henricus van den Wijmelenberg, dalam novisiat tahun 1840. Tentu, proses regenerasi ini berlangsung cepat, karena Henricus van den Wijmelenberg memiliki vitalitas dan cita-cita hidup membiara yang tinggi di tengah kehidupan konfrater yang makin uzur. Setelah kaulnya, ia diangkat sebagai prior Uden. Tak lama berselang, 23 Desember 1841, ia diangkat sebagai Komisaris-Jeneral Ordo. Kesempatan menjadi komisaris-jeneral ini oleh Henricus van Wijmelenberg, tidak digunakan sewenang-wenang; melainkan dijadikan sebagai jalan bagi cita-citanya untuk membangkitkan dan mengembangkan OSC dalam kehidupan yang lebih segar. OSC di uden mulai kebanjiran calon, biara penuh di tahun 1845. Biara-biara barupun didirikan di Diest pada tahun 1845, dan di Maaseik, tahun 1855.

 

Sementara itu, kebijakan Roma juga membuka jalan bagi OSC untuk mengembangkan hidup vita mixta: memperhatikan karya di paroki tanpa melupakan doa harian bersama komunitas. Selain itu juga, Roma membuka kesempatan bagi OSC untuk ikut terlibat dalam karya misi di luar Eropa, khususnya pada abad sembilan belas di Amerika.

 

Kerja keras Henricus van Wijmelenberg membangkitkan nafas kehidupan OSC dalam tiga dimensi. Pertama, memulihkan bentuk organisasi dan kewenangannya lewat mempelajari arsip dan sejarah ordo. Kedua, memulihkan cara hidup membiara yang menekankan vita mixta – keseimbangan hidup doa dan karya – sambil mendirikan kolose dan seminari untuk bibit regenerasi. Ketiga, tekanan akan disiplin, askese dan liturgi menjadi jalan utama agar spiritualitas OSC tak sirna dimakan zaman termasuk memaknai jubah OSC sebagai bagian dari hidup membiara dan identitas otentik OSC sendiri.

 

Kebijakan Henricus van Wijmelenberg (1841-1881) dan penggantinya kemudian, A. Smits (1881-1889) ini menyegarkan kehidupan konfrater OSC yang tak melupakan masa lampau sambil menatap masa depan. Jejak sejarah di masa ini memperlihatkan bahwa sekalipun OSC dalam koma, selalu karunia Allah bekerja dalam cara yang paling unik dan mengagumkan. OSC mengalami pemulihan.

 

 

 

(5) Jejak Mundialisasi, Abad XX-XXI

 

Upaya-upaya pembaharuan dan perintisan mulai merebak di hati para pemimpin Ordo di abad kesembilanbelas setelah kebangkitan yang dirintis Henricus van Wijmelenberg. Hal itu dilancarkan dalam berbagai cara: pendirian kolose dan pembaharuan sistem pendidikan yang lebih modern; penanganan formasi di seminari menengah dan seminari tinggi yang semakin apik; promosi vita mixta di mana hidup membiara bersinergi dengan karya pastoral ditumbuhkan di sekitar Belanda, Jerman, dan Belgia; dan penempatan prokurator Jeneral di Roma yang mampu menangani kepentingan OSC dengan Tahta Suci.

 

Tak hanya itu saja, keberanian untuk terlibat dalam karya misi, di antara konsekuensi gagal atau berhasil, tetap ditanggapi OSC dengan antusias. Maka, pada tahun 1910, OSC membuka misi di Amerika yang pernah gagal sebelumnya, termasuk ke wilayah Brazil, Amerika Selatan. Kemudian, OSC tak ragu menanggapi karya misi di Kongo pada tahun 1920 dan Pulau Jawa (Indonesia) pada tahun 1927 sekalipun medan misi tak seperti di Eropa dengan budaya yang berbeda.

 

OSC menancapkan jejak mundialisasi dengan wajah yang sama di dalam konteks wilayah yang berbeda. Hal itu dikuatkan dengan menggagas: penerusan cita-cita hidup membiara dalam konteks daerah masing-masing, pemeliharaan hidup spiritualitas yang mendalam; dan perawatan benih regenerasi di dalam tubuh Ordo. Maka, OSC juga mendirikan propinsi berdikari di wilayah Uni-Eropa (Theodorus de Celles), di wilayah Amerika Serikat (Santa Odilia), di wilayah Indonesia (Sang Kristus). Begitu pula diprakkarsai pro propinsi  dan wilayah administrasi di Kongo (Martir de Bondo), Brasil (Senhor Bom Jesu); dan wilayah administrasi Papua (Wahyu Salib yang sudah bergabung dengan Sang Kristus).

 

Jejak perjalanan sejarah dengan berbagai macam tantangan itu telah menghantar OSC pada pemurnian kesadaran akan tugas dan panggilan dalam persoalan dunia. OSC senantiasa siap untuk melangkah lagi pada jejak kalngkah berikutnya.

 

 

Rangkuman Sejarah

 


Ordo Sanctae Crucis
(OSC) mulai berkiprah pada 1210. Saat itu masyarakat maupun Gereja di Eropa sedang bergejolak, kebudayaan kota dan aktivitas perdagangan sebagai fenomena ekonomi yang baru mulai marak. Terjadi penumpukan kekayaan dan kekuasaan dalam beberapa tangan dan kelompok. Tambahan lagi Perang Salib, serangan fisik untuk merebut kembali tanah suci, sedang berkecamuk. Tidak kalah serunya perang melawan kaum bidaah, terutama di Perancis Selatan, yang menimbulkan banyak korban jiwa. Di tengah kekisruhan dan kekacauan itu timbul suatu gerakan yang menitikberatkan penghayatan kemiskinan radikal. Lepas dari keinginan haus harta benda, haus darah, haus kuasa. Mereka bercita-cita melaksanakan kehidupan sederhana yang dihiasi kerendahan hati, kepapaan, doa dan mati raga.

 

 

Beato Theodorus de Celles

OSC lahir dari gerakan itu. Ada lima sampai tujuh rohaniwan bergabung di bawah pimpinan Theodorus de Celles, seorang putera keluarga bangsawan yang memiliki puri Celles dekat kota Liege, Belgia sekarang. Pusat spiritualitas mereka adalah In Cruce Salus, dalam Salib ada keselamatan. Mereka bertekad hidup sebagai kanonik regular, para imam yang hidup bersama dan mengisi hidup mereka dengan doa berjam-jam di gereja.

 

Pada 23 Oktober 1248, OSC diresmikan oleh Paus Inocentius IV lewat bulla Religiosam vitam eligentibus. Menurut bulla ini OSC adalah Ordo Canonicus. Sejarah mencatat, Ordo ini menyebar ke Perancis, Inggris, Jerman, Belanda, Skotlandia. Pada tahun 1410 OSC megupayakan reformasi yang mendasar, pembersihan mendalam yang menjadikan Ordo ini tangguh menghadapi badai reformasi yang dikobarkan Luther dan Calvin puluhan tahun kemudian. Sejak itu pengaruh biara Perancis meredup, kekayaan spiritualitas bagian Jerman dan Belanda berpendar. OSC sempat menjadi Ordo Kontemplatif.

 

 

Selain doa ofisi yang memakan banyak waktu, OSC abad-abad itu disibukkan oleh karya penampungan para kaum peziarah dan fakir miskin. Sudah merupakan trend spiritualitas masa itu orang melakukan perjalanan ziarah ke tempat-tempat suci sampai ke Palestina tanpa membawa bekal yang cukup, maka banyak biara OSC dibangun di tepi sungai Maas dan sungai Rhein, jalan raya masa itu. Para OSC juga aktif dalam scriptoria, tempat penyalinan buku yang berseni. Mereka membuka kolose, di beberapa universitas seperti di Paris, Köln, dan Caen.

 

 

Biara St. Agatha, Nederland

Diterjang goncangan revolusi Perancis dan Kulturkampf Jerman, OSC ambruk. Biara disita, para penghuninya diusir. Pada abad ke-19 tinggal tersisa 4 anggota yang tua-tua. Mulai 1850, OSC menggeliat kembali. Pemerintah Belanda, Negara yang masih menyimpan sati-satunya biara OSC memngijinkan penerimaan anggota baru. Pada abad ke-20 OSC meluas ke berbagai kota dan tempat di Belanda (1371), Belgia (1210), USA, Brazil, Kongo (1920), dan Indonesian (1927). Pada 9 Februari 1927 OSC mengayunkan langkah pertama di bumi Indonesia. Bandung menjadi markas besar OSC Indonesia. Di sana ada Provinsialat, Novisiat, dan Skolastikat, tempat penggemblengan kader OSC. Selain karya parokial, OSC juga berkarya du bidang kategorial antara lain Universitas Katolik Parahyangan, pendidikan untuk sekolah menengah dan atas, Gereja Mahasiswa (Gema). Selain itu, OSC mendirikan Rumah Ret-ret Pratista di Cisarua, Bandung Barat, sebagai pusat spiritualitas yang melayani kehidupan spiritual berbagai kalangan.

 

 

Pada tahun 1977 OSC di Indonesia menjadi provinsi tersendiri dengan menyandang nama Sang Kristus. OSC Sang Kristus melebar ke Keuskupan Agung Jakarta, Medan, Agats-Asmat, dan Sibolga, terutama di Pulau Nias. OSC juga memiliki kelompok Mitra. Mereka semua kaum awam yang menjadi partner OSC lewat doa, nasehat dan dukungan moral. Untuk menjalin komunikasi dan informasi antar anggota diterbitkanlah majalah NOLA.

 

 

OSC juga memberikan pendampingan bagi kaum muda dengan segala dinamika dan kreativitas mereka. Rencontre menjadi medan perjumpaan dan pembinaan iman kaum muda. Selain itu perhatian OSC dalam liturgi dikembangkan dalam ILSKI (Institut Liturgi Sang Kristus Indonesia) melalui beberapa kursus liturgi, baik bagi kaum awam maupun religius.

 

 

 

 

Sumber Referensi Sejarah

Bosch, Piet van den. 1992. The Crosiers They Share with Everyone. Minnesota: A Michael Glazier Book, The Liturgical Press.

Janssen, Roger. 2002. 1248-2014, Ordo Salib Suci, Melompati Pelbagai Titik Patah. Bandung: SangKris.

Janssen, Roger. 2015. Brotherhood In the Order of the Holy Cross, 1210-2014. St. Agatha-Cuijk.

Janssen, Roger. 2017. The Normative Community In the Order of the Holy Cross, 1210-2015, an historical search. Maaseik.

Pincharius, Petrus. 1639. Vestis Nuptialis. A Crosier Jubille Publication: Canon Regular of the Order of the Holy Cross.

Rooijen, Henri van. 1999. Blessed Theodore, The Story of a Holy Man, The Founder of the Crosiers. Onamia: Crosier Press.

Samosir, Leonardus. 2007. Ordo Salib Suci; Melewati Masa Lalu, Menuju Masa Depan. Bandung: SangKris.

dll…

 

 

 

 

 

Demi Kenangan Abadi Ordo Salib Suci