Mengenal Lebih Dekat Pastor Mathias Kupens, OSC

 

P. Matheu Kuppens, OSC membagikan pengalaman hidupnya sebagai misionaris OSC di Cigugur dan Pulau Nias, 14/9/2017

BIODATA

Nama Lengkap                : Peter Mathias Thomas Kuppens

Tempat/Tanggal Lahir      : Weerd, 29 Desember 1936

Anak ke                            : 3 dari 6 bersaudara

Novisiat                            : 1956 – 1957

Skolastikat                       : Filsafat (Achel, 1957 – 1959)

                                          Teologi (St. Agatha, 1959 – 1963)

Kaul Pertama                  : 28 Agustus 1957

Kaul Kekal                       : St. Agatha, 28 Agustus 1960

Tahbisan Imamat             : St. Agatha, 18 Juli 1962

 

KARYA PASTORAL

1962 – 1963                      : Pastor Asisten di Belanda

November 1963                : Bertolak ke Indonesia (tiba di Belawan, Medan, kemudian menuju Cicadas

Maret 1964                        : Pastor Paroki di Cirebon

5 Jan 1965-31 Des 1989   : Pastor Paroki Kristus Raja Cigugur (25 tahun)

1 Jan 1990 – sekarang     : Pastor Paroki Salib Suci, Nias Barat

Pastor Kuppens juga pernah melakukan survey dalam rangka studi keadaan komunitas OSC di Agats, Papua, selama beberapa bulan.

 

JABATAN LAINNYA

  • Pernah menjabat sebagai Anggota Dewan Imam di Keuskupan Bandung (ketika bertugas di Paroki Kristus Raja, Cigugur).
  • Pernah menjadi anggota Kapitel Uskup – Penasihat Uskup Sibolga selama lima tahun.
  • Pernah menjabat sebagai anggota PSE di Nias selama 12 tahun.
  • Anggota Dewan Imam Keuskupan Sibolga selama 20 tahun.

 

Tidak berlebihan apabila sosok ini kita sebut sebagai bapa misionaris sejati yang dimiliki OSC. Bagi umat di Cigugur dan Nias, Pst. Kuppens bukanlah nama yang asing bagi mereka. Pada kesempatan Kapitel Provinsi Sang Kristus 2013 ini, beliau pun masih menyempatkan bertemu dengan banyak mahasiswa asal Nias yang ingin berkonsultasi dengannya. Perbincangan kali ini selain mengenal lebih dalam dengan Pst. Kuppens, juga mengulas pendapat beliau tentang tugas misi yang diemban oleh para Krosier.

 

 

Bagaimana kisah singkat perjalanan panggilan Pastor sehingga memutuskan untuk menjadi Krosier?

Saya tertarik menjadi imam sejak kecil. Saya membaca banyak tentang misi di rumah. Salah satu om saya juga Krosier di Afrika. Oleh karena dia, saya kemudian masuk seminari OSC di Uden. Pada waktu itu menjadi misionaris sedang trend. Ada enam saudara saya menjadi misionaris. Bisa dikatakan kita adalah keluarga misionaris. Di seminari saya mencoba untuk mempelajari dan live in di banyak ordo, tetapi akhirnya saya memilih OSC. Mengapa OSC? Karena OSC mempunyai spiritualitas yang menarik, mereka ramah, dekat dengan orang kecil, dan karyanya juga luas (ada sekolah, paroki, dan juga misi). Selain itu saya beruntung karena memiliki keluarga  yang saleh, dan sangat mendukung. Kami terbiasa saling menolong, kerja sama, dan berjiwa sosial, sehingga terbentuk menjadi seseorang yang utuh.

Ketika di novisiat, saya sedikit gagal. Di sini banyak novis yang memberontak dan banyak yang keluar. Magister gagal mengatasi keadaan, sehingga saya pernah tidak merasa nyaman ada di novisiat. Dari sepuluh novis, hanya ada empat yang menjadi imam. Sesudah melewati novisiat saya pindah ke Achel, Belgia. Di sana saya merasa nyaman dan terbentuk menjadi seorang religius dengan didukung oleh banyak pihak, termasuk magister, socius, dan prior. Komunikasi berhasil terbentuk, hidup doa berkembang. Pada masa studi teologi di Belanda, saya merasa beruntung karena memiliki dosen  yang bagus dan modern sehingga dapat membentuk dan mengembangkan saya dalam studi dan teologi modern. Saya menikmati empat tahun di sana.

 

 

Apakah Pastor pernah bermimpi bahwa suatu saat Pastor akan ke Indonesia?

Sebetulnya tidak pernah terpikir sampai di Indonesia, karena dulu Indonesia masih tertutup untuk misionaris. Saya hanya bersiap untuk pergi ke Kongo atau ke Brazil. Tapi oleh karena kedekatan Ibu Fatma (ibunda Pst. Yan Sunyata) dengan presiden maka saya berhasil mendapatkan visa bersama teman saya. Saya merasa beruntung dapat pergi ke Indonesia. Selama dua bulan saya belajar bahasa Indonesia, dan pada 1964 saya ditugaskan ke Cirebon. Hal yang menarik adalah di sini saya menerima pendaftaran anggota ADS menjadi Katolik pada tanggal 17 Oktober 1964. Ada enam ribu orang yang mendaftar dari Cigugur. Mereka mulai belajar agama di Cirebon, dan akhirnya saya pindah ke Cigugur. Di Cigugur saya mulai belajar bahasa Sunda bersama Pst. Hidayat Sasmita. ADS menjadi Katolik oleh karen jasa Pst. Hidayat Sasmita yang dekat dengan mereka.

 

 

Bagaimana kesan pertama Pastor ketika mendarat di Indonesia?

Semuanya berbeda. Kita datang ke Indonesia dengan bahasa yang berbeda. Pastor Hidayat tidak pernah ada di rumah, sehingga saya merasa sendirian di Cirebon. Tapi orang Cirebon menerima dengan baik dan saya merasa cocok. Kebanyakan mereka dari keturunan Tionghoa dan Indo. Dari bulan Maret sampai akhir tahun saya sudah kenal semua orang di Cirebon. Saya punya kartu keluarga, dan setiap hari saya mengunjungi mereka, sehingga kira-kira delapan ratus orang berhasil saya kenal. Waktu itu memang belum banyak. Ini adalah sistem saya. Kemudian untuk cuaca, saya tidak masalah dengan cuaca yang panas, dan saya cocok dengan makanan di Cirebon. Makanan di Cirebon enak sekali. Umat biasanya memanjakan pastor.

 

 

Apakah resep Pastor untuk dapat belajar bahasa asing dengan cepat?

Untuk bahasa Indonesia saya dapat belajar cepat. Setelah dua setengah bulan saya bisa berkhotbah dalam bahasa Indonesia di Cirebon. Untuk bahasa Sunda saya belajar mati-matian. Tapi dengan usaha yang keras saya bisa. Selain itu saya dapat guru bahasa yang baik. Dan tiap hari saya hidup di tengah orang Sunda, dan saya sendirian di sana kira-kira enam bulan karena Pst. Hidayat tidak pernah ada di tempat. Di Paleben, saya bicara bahasa Sunda sebisanya. Akhirnya saya lumayan dalam berbahasa sunda. Setelah dua puluh lima tahun tinggal di sini, pikiran saya sudah Sunda bahkan bermimpi dalam bahasa Sunda. Saya kerja dan belajar bahasa dengan sepenuh hati karena saya tahu ini sangat penting dan saya didukung karena merasa cocok dengan orang-orang di sana. Saya banyak bekerja sama dengan mereka. Bahasa Nias adalah bahasa yang sulit bila dibandingkan dengan bahasa Sunda, bahkan lebih sulit dari bahasa Cina. Sekarang saya masih belajar dan masih sering melihat buku karena begitu rumit.

 

 

Lokasi misi manakah yang paling berkesan bagi Pastor?

Kedua-duanya sungguh berkesan. Bagi saya istri pertama saya adalah ‘Cigugur’ dan istri kedua saya adalah ‘Nias’. Saya senang di Cigugur karena saya tinggal selama dua puluh lima tahun. Saya cocok dengan mereka dan latar belakang saya yang petani dapat membantu dalam hal pertanian dan kita banyak mengadakan proyek pertanian dan peternakan (pernah mendatangkan sapi dan babi) sehingga mulai meningkatkan ekonomi umat. Kita dulu bahkan punya sekolah pertanian yang terkenal. Itu semua terjadi karena kita adalah tim yang hebat. Selain itu ada pula suster-suster yang membantu dengan adanya beberapa sekolah dan rumah sakit. Semuanya memberikan dinamika pada umat di sana. Kita diterima dengan baik dan mereka percaya kepada kita. Kita mencintai umat, dan umat menerima kita.

Di Nias asya belajar tujuh bulan untuk bahasa Nias. Saya belajar mati-matian untuk menguasai bahasa ini. Delapan jam sehari saya belajar. Kami ditempatkan di Nias Barat. Di sana masih penuh dengan malaria namun kita tetap meneruskan dan mulai berkarya di Sirombu. Tiga kali saya masuk rumah sakit. Banyak pastor lain yang terkena penyakit ini. Bagaimanapun saya mencintai orang Nias. Saya punya misi untuk mengenalkan Yesus kepada mereka terutama kita mau mengangkat keluarga-keluarga. Kita selalu ada pertemuan dengna keluarga agar di sana ada kasih. Adat harus membawa kasih sehingga ada kedamaian, itulah yang membahagiakan saya. Hanya itu saja. Kalau mereka mengenal Yesus, biarlah Yesus berjalan bersama mereka dan saya bisa pulang. Untuk itu kita harus seratus persen mencintai Yesus. Peristiwa “Gempa Nias” juga memberikan kepada saya banyak pengalaman yang berharga. Semuanya hancur, lima puluh lima gereja hancur sehingga kita harus mulai dari awal. Kita juga diminta pemerintah untuk membagikan bantuan. Pada waktu itu banyak bantuan datang. Prinsipnya, ketika barang datang, langsung dibagikan, ketika Senin datang, Selasa langsung dibagikan. Semua umat akhirnya memiliki gudang penuh makanan.

 

 

Apakah ada tanah misi lain yang ingin Pastor kunjungi?

Tidak ada keinginan untuk pergi ke tempat lain karena saya sudah bahagia dan mengakar di Nias. Nias Barat harus menjadi surga kecil. Inilah harapan dan cita-cita saya. Saya juga cocok dengan masyarakat di sana. Banyak orang konsultasi dengan saya termasuk masalah kesehatan terutama yang dari pengalaman.

 

 

Menurut Pastor, hal apakah yang membuat Krosier muda enggan untuk menjadi misionaris?

Saya ingin agar Krosier muda sungguh memiliki semangat misioner. Saya berharap agar mereka rela dan mau pergi serta mau tinggal untuk mewartakan dan menghadirkan Kristus di tanah misi karena orang muda lebih memilih tinggal di Bandung atau Jakarta. Hal ini menurut saya oleh karena mereka belum ada kesadaran bahwa misi adalah esensial bagi Krosier. Seorang OSC tanpa misi adalah bukan OSC. Seorang OSC harus ikut menderita dan menghadirkan Yesus. Saya harap agar kesadaran misioner harus ditanamkan dan ini harus dilatih. Saya melihat mereka kurang tantangan. Segi sosial mesti dilatih selain bidang akademik. Mereka harus mengenal struggle of life. Jadi rasa mencintai orang kecil, mendekati dan mengangkat mereka yang susah dan sakit masih kurang dalam pendidikan. Dimensi inilah yang harus diperhatikan dalam pendidikan karena semuanya banyak berfokus pada studi. Ini masih ditambah dengan doa kalau ingat. Katekese, ilmu sosial untuk dapat mendekati mereka yang marginal, dapat meningkatkan rasa empati dan kepekaan kita, serta akhirnya dengan tindakan nyata. Jangan jatuh dalam kemanjaan dengan menjadi anak asuh dari keluarga kaya, diberi ini dan itu. Hal ini sangat tidak cocok dengan OSC. Apa yang kita miliki sudah lebih dari cukup maka kita harus memperhatikan tugas kita untuk mengenalkan Yesus.

 

 

Tips apakah yang dapat Pastor berikan kepada Krosier muda untuk dapat berkarya dengan baik di tanah misi?

Untuk bertahan, kalian harus memiliki hubungan personal yang kuat dengan Yesus agar Yesus menjadi Temanmu yang dapat mendukung, menghiburmu. Dengan-Nya kita bisa melakukan apapun. Yang menjadi satu-satunya teman, ‘home’ di mana kita bisa bersandar pada-Nya. Hidup doa harus diperhatikan. Inilah yang membahagiakan kita. Yang pokok adalah agar kita tidak putus asa, kecewa, kita harus memiliki teman yaitu Yesus, bukan yang lain seperti mengumpulkan kekayaan, makanan, dan lain-lain. Dengan demikian kita tidak akan banyak krisis, menjadi bahagia, tidak punya beban. Tugas apapun atau masalah apapun yang dihadapi kita bisa lakukan karena Yesus senantiasa menolong kita, bukan dengan kekuatan kita sendiri. Pastor yang tidak bahagia terjadi karena mereka tidak merasa didukung, disemangati, tidak memiliki tempat untuk bersandar dari kelelahan kita. Kemampuan kita ditugaskan, seharusnya kita berterima kasih dan merasa beruntung karena ada kesempatan untuk berkembang, dan punya kesempatan untuk mengenalkan Yesus di tempat tugas.

 

 

Apakah harapan Pastor terhadap Ordo terutama Provinsial yang terpilih sebagai Provinsial untuk kedua kalinya?

 Provinsial kita (saat itu Mgr. Antonius Subianto Bunjamin OSC yang kini menjadi Uskup di Keuskupan Bandung) adalah orang yang bervisi, orang yang pendoa. Kalau kita melaksanakan visinya, maka provinsi kita akan berkembang. Ia adalah orang hebat, bagus. Jadi kita harus mengikuti dia, taat, ikut mikir, saling mendukung, saling mengembangkan. Kita beruntung memiliki provinsial seperti dia. Dia juga memiliki perhatian dan hati kepada pastor di pedalaman. Apabila ada kesulitan itu karena anggota-anggotanya yang terkadang berjalan sendiri.

 

 

Pesan apakah yang dapat Pastor berikan kepada Krosier muda?

 Tidak bosan saya katakan agar kalian betul-betul mendalami hubungan dengan Tuhan dan hanya mengharapkan dari Dia. Tuhan tidak akan mengecewakan. Tuhan tidak akan memberikan batu kepada orang yang minta roti. Ketika saya membimbing para TOP-er, saya selalu menekankan bahwa apabila kalian tidak memiliki hubungan personal dengan Allah, tidak pernah berdoa, saya selalu mengatakan agar pulang saja. Saya masih belum melihat ada yang sungguh seratus persen karena tertutup oleh motivasi lain seperti agar dapat studi, agar dihargai, mencari uang dan sebagainya. Ini sayang. Jadi kita harus menjadi imam yang bahagia. Kalau tidak bahagia kita gagal karena surga sudah dimulai sekarang. Ketika kita hidup dalam Tuhan, surga sudah mulai dirasakan dimulai sekarang. Ketika kita hidup dalam Tuhan, surga sudah mulai dirasakan karena kita merasa diberkati, ditolong, dan diampuni Tuhan. Kecuali nanti ketika kita mati barangkali kita akan merasakan surga yang sedikit lebih besar.

 

Disadur dari Nola Edisi 04, Juli-Agustus 2013, p.32-37

 

***

 

 

 

Mengenal Lebih Dekat Pastor Yohanes Djino Widyasuharjo, OSC

 

Tokoh ini waktu kecilnya hebat bermain bulu tangkis, kelihaiannya membawa mobil tak diragukan lagi, penampilannya sederhana dan tidak neko-neko, ia penyayang anjing, ikan, dan burung. Itulah sebagian kecil karakter dari Pastor Widyo OSC. Cerita menarik dari Pastor Wid (panggilan akrab Pastor Widyo) menjadi topik utama dalam wawancara dengan beliau kali ini.

 

 

Pastor berasal dari Klaseman, Yogyakarta di mana OSC tidak berkarya di sana. Lalu bagaimana Pastor bisa mengenal dan kemudian tertarik menjadi biarawan OSC?

Rumah saya di Yogyakarta tidak jauh dengan Skolastikat SCJ, Skolastikat MSF, dan Seminari Kentungan. Setiap hari saya selalu melihat orang-orang dengan mengenakan jubah naik sepeda. Mereka adalah frater-frater. Saya merasa kagum bisa melihat para frater tersebut. Perasaan kagum saya untuk memutuskan menjadi seorang imam bertambah karena paman saya (alm. Bruder Samidi), yang adalah adik dari bapak saya, sudah lebih dulu masuk menjadi biarawan OSC waktu itu. Beliau sering bercerita tentang OSC sehingga saya hanya mengetahui OSC dari bruder. Bruder orang yang baik dan ia tidak pernah mengeluh tentang OSC. Dari sinilah saya dibujuk untuk ikut bergabung menjadi biarawan OSC. Sebelum menjadi biarawan OSC, bruder bekerja di Seminari Menengah Cadas Hikmat yang dulu ada di Cicadas. Beliau juga dekat dengan alm. Pak Sabda dan keluarga Pastor Agus Rachmat, OSC. Bruder juga dekat dengan alm. Pst. Dohne OSC dan ia ditawarkan untuk menjadi seorang bruder. Tawaran ini membuat bruder awalnya tidak yakin karena bruder merasa ragu apakah bisa menjadi seorang bruder, tetapi akhirnya bruder menyanggupinya dan berpamitan dengan bapak saya untuk bergabung menjadi biarawan OSC. Bruder mengucapkan kaul kekal pada tahun 1967. Dengan melihat sosok bruder di OSC, saya terpincut pula untuk bergabung menjadi biarawan OSC. Awalnya saya merasa tidak mampu karena untuk menjadi seorang imam bagi saya terlalu tinggi sehingga modal saya saat itu adalah berani mencobanya. Saya mengakui kemampuan intelektual saya tidak seperti pastor-pastor OSC lainnya yang cerdas. Saya juga dulunya banyak mengenal wanita dan saya berpikir apakah mungkin orang seperti saya bisa menjadi seorang imam. Ada keraguan dalam diri saya. Ketika saya sudah berjubah OSC, saya masih merasakan ketidakpercayaan diri saya. Langkah awal yang saya lakukan adalah menghayati panggilan Allah ini dengan sukacita. Ketika saya sudah ditahbiskan, dari awal saya sudah berkarya di paroki di bidang kategorial, yakni Legio Maria. Saya merasa senang karena dari awal saya sudah dipercaya untuk melayani umat melalui doa. Keterlibatan dalam Legio Maria inilah yang membuat saya tidak merasa ada beban di OSC.

 

 

Keluarga Pastor ada yang menjadi imam, bruder, dan suster. Apakah hal ini sudah menjadi cita-cita dari kecil untuk menjadi keluarga biarawan/biarawati? 

Sebenarnya tidak ada tuntutan apa-apa dari keluarga saya. Malahan bapak dan ibu saya sangat mendukung penuh apabila anak-anaknya menjadi seorang biarawan/biarawati asalkan itu keluar dari suara hati yang tulus. Saya dari kecil sudah ingin menjadi imam. Sosok bruderlah yang sangat kuat dalam mendorong keinginan saya ini. Seorang pastor Jesuit, Pastor Rutten, SJ dikenal sebagai sebagai pastor yang sangat baik terutama dengan anak-anak kecil dan misdinar. Saya juga merasa bangga karena pada saat saya menjadi seorang misdinar, saya adalah salah satu dari tiga orang (selain Bpk. Sukardi yang adalah kakak dari Pst. Suhendar, Vikjen Semarang saat itu dan Bpk. Sudarno yang adalah adik dari Bpk. Sukardi) yang menjadi misdinar dalam misa berbahasa latin. Saat itu jika ada misa dalam bahasa latin kami bertiga yang setia menjadi misdinarnya. Misa dalam bahasa latin ini diadakan bukan di paroki, tetapi di Stasi Kotabaru. Oleh karena masih stasi, misa diadakan sebulan sekali. Sekarang Stasi Kotabaru sudah menjadi Gereja Keluarga Kudus Nazareth, Paroki Kotabaru yang terletak di Jl. Kaliurang dan dikelola oleh pastor-pastor MSF.

 

 

Dalam berkarya dan membimbing para frater, Pastor sudah banyak menghasilkan anak didik yang sukses dalam Ordo. Sebenarnya apa kiat-kiat Pastor untuk membimbing mereka?

 Anak didik yang saya bimbing sampai penuh cukup banyak dan sampai sekarang belum ada yang keluar, antara lain (alm.) Kfr. Agus Rachmat, Kfr. Maman Suharman, Kfr. Lukas Sulaeman, Kfr. Tedjoworo, Kfr. Crispinus Budiman, Kfr. Cornel (walaupun kini bukan OSC lagi, namun masih imam yang berkarya di Brazil; red.), Kfr. Riston, Kfr. Antonius Budiman, Kfr. Robert Hia, dan sekarang Kfr. Freday. Saya selalu mengoptimalkan potensi mereka dan saya tidak pernah mencela mereka. Dengan cara ini mereka bisa mengekspresikan seluruh jati diri mereka tanpa ada beban dan tekanan. Tidak ada alasan untuk mencari kekurangan mereka karena saya selalu sadar dan melihat bahwa mereka itu lebih pandai daripada saya, mereka ada di atas saya, lalu mengapa saya harus mencari-cari kesalahan mereka. Dalam mendidik mereka, saya juga mengatakan bahwa tidak ada alasan untuk keluar dari OSC karena dalam hal ini saya menjadikan diri saya sebagai tolok ukur. Mengapa pula mereka harus bingung menjadi biarawan OSC karena pendidikan mereka lebih daripada saya. Dalam keseharian saya hanya ingin mereka hadir dalam hidup bersama, yakni hadir dan makan bersama-sama, rekreasi juga bersama-sama, kalau pergi memberi tahu mau ke mana, dan yang paling penting adalah bisa bangun pagi untuk ikut misa. Kalau tidak bisa bangun pagi nanti akan sulit untuk menjadi imam. Hal  yang lucu adalah pada saat saya membimbing Pastor Agus Rachmat. Beliau meminta nilai dari saya apakah dia lulus atau tidak pada masa pastoralnya. Lalu saya berkata: “Kamu mau nilai berapa? Mau nilai enam boleh atau sembilan juga boleh.” Pastor Agus Rachmat saat itu merasa heran karena baru pertama kali ada pembimbing yang menyuruh anak didiknya untuk memberi nilai sendiri apakah lulus atau tidak. Dalam membimbing mereka saya tidak memberikan hal-hal yang sulit, hanya butuh kehadiran untuk berkumpul bersama saat makan, rekreasi, dan memberi tahu jika pergi.

 

 

Pastor dikenal sebagai imam biarawan OSC yang taat, diutus ke mana saja siap. Apa motto Pastor dan bagaimana Pastor bisa dengan sukacita menjalankan karya Pastor?

Saya mempunyai motto “3 M”. Melihat, mencintai, dan memahami.

Melihat tugas itu sebagai rahmat karena saya menghargai pemimpin, siapapun pemimpinnya. Tugas itu sebagai berkat untuk saya karena pemimpin adalah utusan Allah sendiri sehingga jika ada tugas yang diberikan kepada saya, saya siap karena tugas itu sebagai rahmat, yakni saya masih dipercaya oleh atasan.

Mencintai tempat dan umat Allah tempat saya berada. Saya mencintai tempatnya dan umat Allah yang dipercayakan kepada saya. Di mana pun saya berada saya tidak pernah aneh-aneh sehingga saya tidak pernah punya dendam terhadap siapapun dan apapun.

Memahami dan mengerti anggota komunitas. Mereka adalah teman sekomunitas dan mereka adalah teman kerja saya. Selama saya bersama mereka saya selalu mencari segi positif mereka dan saya kembangkan itu.

Dengan motto “3 M” ini saya merasa kerasan dan betah di tempat saya bertugas. Sampai sekarang pun jika saya bertugas, saya belum pernah diusir oleh umat.

 

 

Para frater sering menganggap Pastor sebagai pastor yang ramah dan suka bercanda. Bagaimana Pastor bisa selalu enjoy dan welcome dengan mereka?

Saya mendapat pelajaran yang sangat berharga dan bercermin dari kehidupan orangtua saya. Mereka tidak suka bertengkar dan selalu menerima tamu-tamunya, teman-teman saya, dan semua tamu. Saya belajar dari mereka bagaimaan hidup itu harus menghargai orang lain. Ternyata, hal inilah yang ditanamkan oleh oranguta pada diri saya. Menghargai orang lain itu sangat penting apalagi ketika seorang imam yang menjadi contoh teladan bagi kaum muda. Sekarang mencari calon pastor saja sulit, oleh karena itu mengapa saya harus bersikap tidak baik dan tidak menerima mereka (para frater). Kalau saya bersikap antipati terhadap mereka dan kurang ramah, nanti mereka akan berpikir “Kok pastor OSC begitu ya, nggak ramah. Katanya hidup bersama dan menjalin persaudaraan, tapi dengan adik-adik kelasnya saja nggak peduli.” Jika pikiran itu muncul mungkin saja panggilan mereka akan sedikit berguncang dengan melihat sosok pastor OSC yang kurang memperhatikan saudara se-ordo. Saya tidak mau seperti itu, saya mau menghargai panggilan mereka. Hal ini bukan saja saya lakukan dengan saudara di OSC, tetapi dengan semua orang. Kalau pun ada frater yang sudah tidak menjadi OSC, saya tetap menghargai mereka karena menurut saya menjadi imam adalah menghargai seluruh umat Allah yang dipercayakan kepada saya.

 

 

 

Apa harapan Pastor bagi perkembangan Ordo kita?

Saya berharap bagi mereka yang sudah mengucapkan kaul dan khususnya bagi mereka yang sudah berkaul kekal menghidupi ketiga kaul dengan sukacita, setia, gembira, dan jangan ngomel serta mengeluh. Jika anggota Ordo kita menghidupi ketiga kaul dengan sukacita, maka masa depan Ordo akan terjamin. Saya pun berharap supaya orang-orang di Ordo kita ini menjaga hidup bersama, ramah dengan orang luar, dan hidup berkomunitas (jangan hidup sendiri). Keharmonisan antara penghayatan ketiga kaul dan ciri khas dari Ordo kita inilah yang harus diterapkan. Saya telah melakukannya dan inilah yang membuat saya bisa menjalani panggilan dengan enjoy. Hal ini saya lakukan ketika pada 2004 – 2007 saya menjabat sebagai anggota Dewan Provinsi (1 bulan sekali saya harus ke Bandung untuk rapat), ketua Konven Regional Tangerang, dan ketua Dekenat Tangerang. Saya tetap menerima tugas-tugas itu dengan senang karena saya masih dipercaya dan rahmat Allah tidak akan pernah meninggalkan saya.

 

 

Apa pesan Pastor kepada para frater dan konfrater muda saat ini?

Utuk menjadi seorang biarawan OSC, hidupi dan hayatilah identitas sebagai biarawan OSC. Tidak ada alasan yang lebih baik untuk meninggalkan hal ini. Jangan pernah melupakan hidup doa dan misa karena melalui ini kerinduan akan relasi yang dekat dengan Allah selalu terjaga. Hidup bersama selalu menjadi prioritas dan jangan hidup menyendiri dengan kesibukannya di dunia luar yang bukan menjadi bagian dari OSC. Dalam pergaulan jangan sampai merasa dicintai dan dihargai karena ganteng, pintar, sukses, dan menjadi favorite umat, tetapi selama menjadi frater dan pastor harus dicintai karena jubah OSC-nya. Aura dan wibawa seorang biarawan OSC menjadi yang utama, bukan penampilannya. Jika ada pastor yang mencintai, harus mencintai dengan tulus.

 

Disadur dari Nola Edisi 02, Maret-April 2013 p.10-15.

 

***

 

Lebih Dekat Bersama Pastor Leonard van Beurden, OSC

 

 

Nama                               : Leonard Johanes Antonius Maria van Beurden

Tempat, Tanggal lahir       : Driel, 26 Desember 1942

Ayah                                 : Wilhemus van Beurden

Ibu                                    : Maria van Kessel

Anak ke-                           : 4 dari 8 bersaudara

Kaul Pertama                   : St. Agatha, 28 Agustus 1964

Tahbisan Diakon              : Amsterdam, Juni 1969 oleh Mgr. van de Burg OFM.Cap. Uskup Pontianak

Tahbisan Imam                 : Kerkdriel, 27 September 1970 oleh Mgr. J. Bluysen, Pr.

 

 

Berangkat ke Indonesia bersama Kfr. Kluskens dan Kfr. Frans Vermeulen dengan pesawat DC 9 (sempit sekali rasanya) pada 27 November 1970. Tiba di Jakarta, Kebayoran pada saat malam takbiran. Pada saat malam pertama di Bandung rasa-rasanya tidak bisa tidur, karena dimana-mana ada mercon yang berbunyi dor-dor-dor atau bunyi dari mesjid. Ibarat masuk negara yang sedanga berperang. Beliau menjadi Warga Negara Indonesia (WNI) sejak tahun 1995. Itu pun melalui suatu proses yang panjang, ludik dan menarik.

 

Karya

  1. Sesudah belajar Bahasa Indonesia di Susteran Waringin, saya berangkat dan menjadi Pastor Rekan di Paroki baru, yaitu Indramayu mulai tahun 1971 s/d Juli 1975.
  2. Januari 1976 s/d September 1983 menjadi Pastor rekan di Paroki pandu, Bandung. Pernah menjadi socius, dan magister ad interim tetapi kurang berhasil.
  3. Desember 1983 s/d Juni 1986 menjadi Pastor rekan di Paroki Katedral dengan tugas memperhatikan bidang pastoral di Rumah Sakit St. Borromeus dan mengurus Kapel Rumah Sakit. Beliau memulai mengajar introduksi Kitab Suci di Tahun Rohani.
  4. Juli 1986 s/d Mei 1999 beliau menjadi Pastor Paroki Pandu, mengajar introduksi Kitab Suci dan Homiletik kepada para frater.
  5. Sejak 1989 membantu Mgr. A. Djajasiswaja sebagai Vikaris Jendral selama hampir 9 tahun.
  6. Sabatical Year dari bulan Maret 1997 s/d Maret 1998, hadiah dari Provinsial Hardjo dalam rangka merayakan 25 tahun imamat.
  7. Mei 1999 menjadi Pastor Paroki Katedral, Bandung dan sejak Juni 1999 merangkap menjadi ketua Yayasan Salib Suci.

 

 

Bagaimana awalnya Pastor mengenal dan akhirnya tertarik menjadi Biarawan OSC?

 Sejak kecil saya mengikuti jejak ketiga kakak saya menjadi putra altar. Tetapi nasib saya jelek. Kelas 3 SD saya dihukum dan diskors selama 3 bulan gara-gara menyiram gadis-gadis nakal dengan air suci, tetapi sialnya air percikan mengenai sang pastor hingga basah. Ketika kelas 5 SD saya dipecat, gara-gara dengan mulut saya membuat bunyi seperti kentut pada saat latihan penciuman salib untuk Jumat Suci. Rupanya pastor sedang BT, maka saya menjadi korban. Tetapi ada pastor asisten yang sangat ramah, sportif dan menarik. Dia seorang pikbus, SSCC. Ketika saya selesai Sekolah Dasar, saya tertarik mengikuti langkah kakak saya, masuk seminari.

 

Ketiga kakak saya ada di seminari di Uden yang dikelola oleh OSC. Awalnya saya tertarik masuk SSCC, gara-gara simpati kepada Pater asisten di paroki saya. Namun, pastor paroki tidak setuju. Saya pun mesti ke Uden. Sebagai domba-domba manis, orangtua dan saya nurut. Saya masuk kelas persiapan di Uden, tetapi salah satu kakak saya mundur dari seminari.

 

Pada tahun 1963 saya lulus dari seminari menengah. Karena kakak saya sudah mau menjadi projo, maka saya dengan 11 teman sekelas memilih untuk menjadi novis OSC. Kami ber-12 menjadi generasi yang pertama di Novisiat Biara St. Agatha. Kesan saya tentang para pastor OSC di Uden sangat positif. Mereka selalu siap mendampingi kami, baik di lapangan olahraga, maupun di bidang studi. Kebanyakan pastor OSC sangat dekat, ramah, dan peduli pada para seminaris. Jadi, no projo, no SSCC! . jadi ke OSC saja. Sampai hari ini saya tidak menyesal berkat Kehadiran Roh Kudus yang senantiasa mendampingi hidup saya.

 

 

 

Bagaimana perjalanan panggilan pastor saat menjalani masa pendidikan sejak Formasi hingga ditahbiskan menjadi imam?

Gedung novisiat di St. Agatha belum selesai, olehkarenanya kami ber-12 baru masuk novisiat pada bulan September. Kami didandani dengan jubah bekas yang penuh tempelan dan disuruh macam-macam. Banyak ofisi, doa, meditasi, bacaan rohani, ngepel, bantu di kebun, sortir kaos kaki, dan olahraga. Saya senang novisiat berakhir. Sebagai orang muda kami tidak terlalu betah, karena tidak ada tujuan, target yang mau dikejar. Sesudah kaul pertama kami pindah ke Zoeterwoude, Belanda Utara untuk belajar  filsafat, psikologi, sejarah ordo, dan logika. Nah, di situ saya betah. Studi dan sejumlah dosen, baik OSC, maupun awam sangat menarik. Saya ditugaskan untuk menjadi koster pembantu. Gosok-gosok melulu. Hanya saya sebal terhadap beberapa pastor muda yang suka ketiduran, padahal mereka mesti pimpin misa. Mestinya saya belajar filsafat selama 2 tahun di Zoeterwoude, tetapi waktu itu dimulai dengan konsentrasi pendidikan untuk para calon imam. OSC bergabung dengan Fransiskan, Karmelit, Salesian, dan Oblat Maria. Tahun pertama dari “kombinasi Nijmegen” kami belajar di St. Agatha, masih memakai jubah waktu itu. Tetapi, tahun ke-2 kami pergi dengan bis ke Venray untuk mengikuti kuliah di Biara Fransiskan. Menarik, dosen-dosen yang kurang bagus dipensiunkan atau diparokikan  sedangkan yang pintar-pintar tetap mengajar. Kesan saya waktu itu ilmu dan studi lebih diutamakan dibandingkan hidup rohani.

 

Karena roh dan angin konsili Vatikan mulai bertiup, maka jumlah seminari dengan pendidikan masing-masing mulai berkurang. Jumlah novis juga hampir tidak ada lagi. Sesudah 2 tahun konsentrasi Nizmegen (St. Agatha) kami para frater OSC dipindahkan ke Amsterdam. Dengan total 21 frater kami dari dusun paling kecil menuju kota yang amat besar dan ternama di Amsterdam. Selama 4 tahun saya boleh menghirup suasana dan hidup di kota Amsterdam. Terus terang saya amat menikmatinya. Amsterdam kota yang hidup, ada hippis, flower-people, ada pemuda/i a-sosial, demonstrasi, ada Gereja Mahasiswa, ada pembaharuan dan eksperimen. Singkatnya, ada segudang ketidakpastian. Maka jangan heran, bahwa dari bulan ke bulan jumlah frater cepat berkurang. Di tengah kesibukan belajar bermacam-macam ilmu saya banyak membantu  di ber-café, rumah anak-anak muda di pusat Amsterdam. Pemuda/i tidak betah tinggal di rumah. Mereka berkeliaran.Kami mencoba menampung, menghibur, dan mengobrol dengan mereka. Ternyata, segala glamour, kemewahan, dan daya tarik di kota besar tidak mampu menjawab kesepian dan kehausan muda-mudi miskin. Menarik, hampir setiap weekend pada waktu itu ada demonstrasi, love-meeting, dan pertemuan mencari arti dan tujuan hidup. Surat kabar dan televisi diisi dengan berita-berita penuh harapan dari Konsili Vatikan di Roma. Sayangnya kebebasan, pemberontakan, dan pembaharuan tidak dapat dijawab dengan baik oleh Gereja dan para pemimpinnya. Jumlah imam dan frater berkurang bagaikan kereta api yang cepat. Sialnya jka seorang frater keluar sang magister suka mengeluh dan berkata, “sayang, yang baik-baik keluar”. Ucapan itu membuat kami yang bertahan frustasi. Jadi kami jelek-jelek bertahan. Akhirnya dari 21 frater hanya 3 bertahan dan menjadi imam.

 

Tahun terakhir yang merupakan tahun pastoral saya ditugaskan di kota Amsterdam. Di sana kami mulai terlibat dalam hidup dan karya di Paroki. Saya merasa senang dan betah. Saya merasa cocok dan diteriima oleh para penghuni flat-flat tinggi di Amsterdam. Pertengahan tahun 1970, I have to say, “good bye Amsterdam”.

 

 

Bagaimana kesan Pastor saat tiba dan berkarya di Indonesia?

Memang saya sudah sedikit siap untuk berkarya du Indonesia. Saya sudah belajar sedikit bahasa, sudah belajar untuk memperbaiki mobil kalau rusak di tengah-tengah hutan, sudah banyak mendengar cerita dari para misionaris. Tetapi kenyataannya toh berbeda. Jl. Van Deventer, rumah saya yang pertama. Saya merasa kembai ke St. Agatha. Dengan senang hati bulan Maret 1971 saya berangkat ke Kota Indramayu. Saya dan Pastor C. Kluskens mendapat tugas membangun paroki yang baru, yang terdiri sekitar 10 stasi hingga stasi Pamanukan. Saya terkenang dengan Indramayu: panasnya minta ampun, banjir berasal dari sungai Cimanuk, jalannya berlumpur, jalan kaki ke stasi, daerah Totoran dan Dagan, cerita ajaib di bawah pohon di stasi Tugu, dan lembabnya pastoran, lengkap dengan meja hnyo (Chinese Altar).

 

Sebagai misionaris muda, kurus kering, tinggi-doglong, duwur, saya menyusuri lorong-lorong dan jalan-jalan di Indramayu dan sekitarnya. Dari menangkap ikan, mengurus babi, berkhotbah, hingga kunjungan pastoral itulah kesibukan sehari-hari saya pada waktu itu. Saya merasa betah. Tapi tak diduga-duga waktu sedang cuti provinsial meminta saya pindah ke Bandung, ke Biara Pandu bersama dengan frater-frater. Awalnya sedikit takut karena saya bukanlah teladan religius yang hebat untuk para frater. Saya lebih suka berkarya di lapangan. Tetapi frater-frater juga baik dan lucu. Kadang-kadang berkelahi, sering studi, dan saleh. Saya lebih merasa puas tinggal di Paroki. Pada waktu itu lingkungan-lingkungan mulai lahir. Ada Legio Maria bapak-bapak (BBC) kita mendirikan lingkungan-lingkungan. Di Pandu mudika (muda-mudi Katolik) amat aktif dan terasa hidup. Tetntu saja ada pemudi-pemudi yang meminta lebih daripada bimbingan rohani. Godaan-godaan seringkali muncul sehingga sesudah 5 tahun berkarya di Pandu minta pindah.

 

Saya pernah berkarya di Katedral, Rumah Sakit, dan megajar para frater kuliah. Bagi saya pastoral yang paling berkesan adalah kunjungan pasien-pasien di Rumah Sakit Borromeus sekaligus pastoral kapel di sana. Para perawat dan mahasiswa UNPAD, ITB, dll. Sangat kreatif dan hidup. Saya juga senang mengajar Kitab Suci dan praktek khotbah. Rahmat Tuhan sungguh besar dalam hidup saya.

 

Sayangnya terlalu cepat, provinsial muncul kembali. Ia berkata “Pastor Paroki Cirebon meninggal dunia”. Saya diminta kembali ke Pantura, Cirebon. Provinsial merenanakan tetapi Uskup menentukan. Mgr. Djajasiswaja minta agar saya bertahan di Bandung dan saya mesti kembali ke Pandu. Lama-lama saya mengerti pemikiran Bapa Uskup. Ketika saya memberi nasehat kepada Bapa Uskup, tiba-tiba dia berkata “Leo Saja”. Maksudnya saya ditunjuk menjadi vikaris generalnya. Rasanya terlalu luhur bagi saya. Tak pernah diimpikan oleh saya. Pst. Bogaartz mengirim ucapan selamat pada ibu saya dengan pesan bahwa “Leo sekarang harus memakai ‘celana’ warna ungu!”. Suatu hadiah besar, sabatical year mengubah pola hidup saya. Semula saya merasa gelisah, bingung, ngapain satu tahun nganggur? Tetapi berkat bantuan, petunjuk banyak orang saya bisa menikmati dan mengisi tahun sabath dengan baik. Dari Nemi ke Moskow, dari Amerika ke Belanda, dari Israel ke Lourdes. Terima kasih pada provinsial Hardjo. Sesudah sabatical year saya kembali ke Pandu. Ada gesekan-gesekan. Saya mesti pindah. Bapak uskup pada waktu itu mendapat vikjen yang baru. Saya pindah ke Katedral. Di Katedral saya mulai rajin mengunjungi umat, sampai tiba-tiba Yayasan Salib Suci dilempar ke pangkuan saya. Kadang kalanya kesibukan di paroki dan Yayasan dapat menggeser Tuhan sendiri.

 

 

 

Apa peristiwa atau pengalaman yang menarik bagi Pastor saat berkarya di Keuskupan Bandung?

Ada suatu pengalaman yang tak pernah saya lupakan. Pada suatu hari, saya selaku Pastor Rumah Sakit mengunjungi seorang ibu yang sedang sakit lambung. Rupanya ibu yang sedang sakit itu melihat kebingungan dan keragu-raguan saya. Tiba-tiba ibu itu berkata “pastor tidak usah macam-macam, yang saya butuhkan adalah doa. Tolong doakan saya”. Karena diminta, maka saya mendoakannya. Mohon desembuhan dan bantuan Tuhan. Hari berikutnya saya mengunjungi dia kembali.  Saya heran, kok kemarin kesakitan tetapi sekarang senyum dan duduk di samping tempat tidur. Ketika saya mengungkapkan rasa heran saya, saya ditegur oleh ibu katanya “kan kemarin saya didoakan Pastor, maka saya sembuh. Pastor harus percaya pada kekuatan doa sendiri”. Dengan malu, aku mengangguk. Sejak itu saya suka mantap mendoakan umat,yakin bahwa doa mempunyai pengaruh dan kekuatan. Kunjungan ini sangat berarti bagi saya dalam berelasi dengan Tuhan.

 

 

 

Apa yang menjadi kunci utama sehingga Pastor mampu untuk tetap setia pada panggilan sampai saat ini?

Saya merasa ada beberapa kunci, kekuatan yang sangat membantu saya, pertama-tama dari tekan-rekan konfrater maupun dari umat. Ada beberapa awam, suster, konfrater dimana saya selalu boleh curhat dan mereka sangat membantu saya mengatasi keragu-raguan, godaan atau kesusahan. Saya juga amat berterima kasih kepada Ordo Salib Suci dan keuskupan. Saya sering tertantang diberi tugas yang nampaknya sulit, terlalu berat bagi saya. Tetapi karena dipercaya ternyata bisa melaksanakan dan menikmatinya.  Ternyata,  manusia memiliki lebih banyak bakat dan potensi daripada yang diduga sebelumnya. Saya merasa sangat dimanja oleh Tuhan sendiri. Luar biasa, banyak kebaikan, semangat, sukses dan hiburan saya peroleh dari-Nya. Saya merasa dimanja Tuhan baik melalui karya yang dipercayakan pada saya maupun melalui sejumlah relasi dengan sesama yang sungguh berarti. Satu lagi, untung bahwa saya boleh tinggal di dalam komunitas yang kompak, memberi dukungan dan perhatian. Jadi bukan kehebatan saya sehingga bertahan, tetapi berkat dukungan dari mereka.

 

 

 

Apa harapan Pastor bagi perkembangan Ordo Salib Suci?

Rasanya cukup lama saya curiga, anti pada policy generalat OSC di Roma. Mereka terus menerus mendorong, malahan memaksa untuk membentuk priorat. Tetapi makin ke sini saya mulai mendukung pada “vita mixta”. Tadinya saya mengutamakan karya dan karya. Tetapi makin ke sini saya yakin kita mesti berani menyediakan waktu untuk hidup sebagai saudara satu sama lain dan mendalami hidup doa. Hidup komunitas dan hidup dalam Tuhan begitu penting sebagai ciri khas Ordo Salib Suci (walaupun saya senang sibuk di lapangan). Saya berharap agar Ordo mengizinkan setiap provinsi mencari identitasnya yang berakar dalam kebudayaan setempat. Provinsi Indonesia boleh berbeda dengan provinsi Amerika. Jadi mempelajari kebudayaan setempat itu begitu penting. Sejauh manakah model pesantren? Saya sangat setuju dan senang jika Ordo memiliki banyak perhatian pada dunia panggilan dan formasi. Tanpa tunas muda kita susah berkembang dan berbangga diri.

 

 

 

Apa harapan Pastor bagi para frater dan konfrater muda?

Saya berharap para frater dan konfrater muda selalu kreatif, mau menggali dan menggarap ciri khas hidup religius, hidup OSC di dalam zaman dan kebudayaan setempat. Apa sebenarnya kebutuhan, kehausan manusia Indonesia setempat? Banyak konfrater kita berkarya di Jawa Barat. Maka perlulah ada yang ahli dalam bahasa dan budaya Sunda. Tetangga kita semua beragama Islam, maka perlu ada ahli Islamologi. Negara kita kehilangan budi pekerti atau moral, maka perlu ada ahli moral yang suaranya didengar dan dperhatinan di media. Dan jangan lupa untuk memupuk, merawat kerinduan akan Allah. Akhirnya bagaimanapun juga kita adalah a man, a family of God. Bisa gak kita tampil sebagai manusia spiritual yang dapat berelasi akrab dengan Allah. Kaum muda jangan hany menjadi kuda kerja yang berprestasi hebat. Taatilah semboyan “ora et labora”. Artinya, ora di depan! Tidak mudah barangkali. Proficiat dengan kegiatan Rencontre, ret-ret, dan dialog antara agama. Semoga dapat berkembang.

 

 

 

Apa kebanggaan dan harapan Pastor sebagai anggota OSC sampai saat ini?

  • Saya bangga dan berharap terus bahwa OSC Indonesia yang multi suku, ras, dan asal-usul bisa hidup bersatu dan bekerja sama. Sunda, Jawa, Ambon, Nias, Batak, Belanda, Cina, dll. Bisa hidup rukun. Itu teladan yang baik bagi umat.
  • Saya bangga melihat novisiat yang hidup. Semoga tim panggilan dan para magister tetap menyala-nyala semangatnya.
  • Saya bangga jika ada konfrater yang karyanya diakui sehingga masuk di majalah atau media masa lainnya.
  • Saya bangga melihat beberapa konfrater aktif terlibat dalam dialog antar agama. Suatu karya pastoral yang amat penting.
  • Harapan saya juga adalah agar tetap menyiapkan konfrater yang mau terjud di bidang pendidikan. Siapakah yang akan ikut memberi arah dan tujuan pada pendidikan generasi muda di negara kita? Management dan roh pendidikan begitu penting.

 

Akhir kata, saya bangga menjadi anggota OSC Sang Kristus Indonesia. Saya berharap agar tua dan muda tetap merasa diterma, didukung oleh komunitas, berkembang dan bahagia.

 

 

Salam damai,

Pst. Leo van Beurden, OSC

 

 

Diambil dari Majalah Nola Edisi 02, Maret-April 2012, p. 28-35.

 

 

 

 

 

Lebih Dekat Bersama Pastor Joseph Souw, OSC

 

Pastor Joseph Souw, OSC

 

Konfrater Souw lahir di Bandung, 7 Maret 1940. Orang tuanya bernama Aloisius Souw Tjian Lim dan Thio Pek Nio. Dia lahir sebagai putera pertama keluarga ini.

            Josef Souw menjalani pendidikan dasarnya di SD St. Yusup, Jl. Trunojoyo, Bandung; lalu di SMP St. Aloysius (1953-1955). Dari sini dia memasuki Seminari Menengah Cadas Hikmat (1955-1961). Selesai Seminari Menengah, dia memasuki Ordo Salib Suci; menjalani satu tahun Novisiat di biara Pandu (1961), lalu pendidikan filsafat-teologi pada tahun 1962-1969.

 

 

Biodata

Nama                              : Joseph Souw Hong Goan, OSC

Tempat, tanggal lahir      : Bandung, 7 Maret 1940

Anak ke                          : 1 dari 9 bersaudara (anak pertama sampai ketiga dari ibu pertama (alm.), selebihnya dari ibu yang kedua).

Kaul perdana                  : 28 Agustus 1962

Kaul kekal                       : 28 Agustus 1965

Tahbisan imamat            : 24 September 1969 oleh Mgr. P.M. Arntz, OSC, di Paroki Salib Suci, Kamuning, Keuskupan Bandung

 

 

Periode Jenjang Pendidikan Imamat dan Tugas Pastoral

1962-1968                       : Seminari Tinggi OSC, Pandu (studi filsafat dan teologi)

1968-1969                       : Tahun pastoral di Gereja Salib Suci, Kamuning

1969-1974                       : Paroki St. Maria Tak Bernoda, Garut

1976-1977                       : Paroki Hati Kudus Yesus, Tasikmalaya

1978                                : Paroki Salib Suci, Kamuning

1979                                : Paroki St. Paulus, Mohammad Toha

1979-1982                       : Dosen di STF Abepura, Papua

1983-1986                       : Paroki St. Perawan Maria Sapta Kedukaan, Pandu

1986-1990                       : Paroki St. Yusuf, Cirebon

1990-1991                       : Paroki Kristus Raja, Cigugur

1991-2010                       : Medical Center Manila, Filipina (domisili di Jl. Palma rumah studi OSC).

 

Tugas-Tugas Belajar

1974                                : East Asian Pastoral Institute (EAPI) Manila, Filipina

1975-1976                       : La Salle University, Manila – Master of Science (M.Sc) dalam bidang Konseling.

1982-1983                       : Rome Pontifical University of St. Thomas, Italia. Master of Arts (M.A.) dalam bidang Teologi Pastoral

1995-2000                       : St. Thomas University Manila, Filipina. (Ph.D.) Doktoral dalam bidang Psikologi.

Sekarang                         : Socius para frater Skolastikat Ordo Salib Suci, Bandung

 

 

Formasi gaya baru yang saya lihat, baik di novisiat maupun skolastikat sekarang lumayan lebih baik karena berusaha mengembangkan seluruh potensi manusia (para foramandi). Namun semua masa memang pasti ada suka-duka, baik-buruknya sendiri.”

  

 

Pengalaman apakah yang menumbuhkan motivasi awal Pastor untuk memilih jalan hidup imamat, khususnya dalam Ordo Salib Suci?

P. Souw sewaktu remaja

Sewaktu kecil, letak rumah kami di Jalan Cikutra, Cicadas berdekatan dengan Seminari Menengah Cadas Hikmat. Saya sering ikut bermain bersama para seminaris, misalnya bermain sepak bola di lapangan Paroki Cicadas. Para seminaris itu mengesankan hati saya, terutama ketika mereka mengisi koor selama pekan suci. Pada masa itu saya juga aktif sebagai putra altar di paroki. Menjelang kenaikan ke kelas 3 SMP, akhirnya saya mengutarakan niat saya untuk menjadi seorang imam kepada Pastor Piets, OSC, rektor Seminari Menengah Cadas Hikmat waktu itu. Saat itu saya sendiri masih diliputi keraguan, sebab hendak melanjutkan SMA di “TOP” (sebutan untuk sekolah St. Aloysius pada masa itu). Ayah saya sendiri mendorong saya untuk masuk seminari sesuai dengan anjuran Pastor Piets, OSC. Saya pun dengan mantap memutuskan untuk melanjutkan kelas 3 SMP sebagai seorang seminaris. Setelah lulus seminari menengah, saya memilih OSC karena pastornya saat itu rajin mengunjungi umat secara teratur.

 

 

Bagaimana pengalaman suka-duka Pastor selama menjalani masa formasi, baik di Seminari Menengah, Novisiat, maupun Skolastikat OSC?

Saya agak kecewa karena mesti belajar dahulu bahasa Latin dan Belanda selama dua tahun, padahal seharusnya sudah duduk di kelas 3 SMP. Akhirnya baru pada tahun 1955 saya masuk ke kelas 3 gramatika. Selain itu saya juga kecewa karena baru dapat menyelesaikan seminari menengah pada 1961, sebab Pastor Döhne, OSC rektor baru kami menghendaki adanya kelas 7, yaitu untuk mendalami kembali bahasa Latin. Padahal teman seangkatan saya yang lain, Pst. Yan Sunyata, OSC dan Pst. F.X. Soekarno, OSC tidak mengalami kelas 7 ini. Akhirnya saya pun masuk novisiat hanya seorang diri.

 

Selama masa novisiat, kami hanya boleh bicara di waktu dan tempat yang telah ditentukan. Kami pun sering ditegur karena sering melanggar aturan silentium tersebut. Ketika kuliah filsafat dan teologi awal, semua teks yang mesti kami pelajari ditulis dalam bahasa Latin. Kadang isinya tidak saya mengerti, maka yang penting dihafalkan saja. Untunglah semenjak Konsili Vatikan II yang dimulai tahun 1963, semua teks gerejani sudah direvisi ke dalam bahasa-bahasa setempat, termasuk bahasa Indonesia. Ini memudahkan kami untuk belajar.

 

Selama menjalankan masa formasi, saya memperoleh kesan bahwa cara mendidik kami sama seperti di St. Agatha, Belanda. Tampak adanya usaha penyeragaman bagi semua. Ini salah satu hal yang saya sayangkan dalam proses formasi jaman dulu, dengan demikian bakat-bakat personal kurang dikembangkan, misalnya saja dalam kempemimpinan. Formasi gaya baru yang saya lihat, baik di novisiat maupun di skolastikat sekarang lumayan lebih baik karena berusaha mengembangkan seluruh potensi manusia (para formandi). Namun semua masa memang pasti ada suka-duka, baik-buruknya sendiri.

 

 

 

Pengalaman berpastoral apakah yang paling berkesan bagi pastor selama kurang lebih 43 tahun menjadi seorang imam Krosier?

Pengalaman berpastoral di Abepura, Papua paling mengesankan bagi saya. Ketika itu, para uskup di wilayah Irian memutuskan agar setiap Ordo/Konggregasi yang berkarya di wilayahnya  mengirimkan seorang dosen tetap bagi Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Abepura. Maka Pastor Provinsial Yan Sunyata, OSC mengutus saya pada tahun 1979 sebagai kepala asrama dan dosen tetap STF, sekaligus untuk mengerjakan berbagai tugas lainnya yang berkaitan dengan Abepura. Saya pun mulai membimbing umat, terutama kaum muda dan berusaha beradaptasi dengan budaya setempat. Mempelajari hal baru (budaya Papua yang sangat asing) memberi kesan tersendiri dalam karya pelayanan saya sebagai seorang imam Krosier.

 

Perbedaan budaya Jawa (Sunda) dan Papua amat besar sehingga teori konseling yang saya pelajari tidak dapat diterapkan begitu saja bagi pelayanan di sana. Hal lain yang berkesan bagi saya adalah, bahwa untuk mendekati orang lain (misalnya dalam kebudayaan Papua) metode “direktif”, pendekatan personal, bicara dan berinteraksi langsung, tatap muka, bahkan ikut bekerja bersama sangatlah efektif. Metode “non-direktif”, teoretis justru kurang mengena, dan sepertinya ini juga berlaku bagi kebanyakan budaya.

 

 

Pastor telah berhasil meraih beberapa gelar akademik, termasuk gelar “Doktor” dalam bidang Psikologi dari St. Thomas University, Manila. Bagaimana cara Pastor menumbuhkan kegemaran membaca (belajar) dan kecintaan akan ilmu pengetahuan?

Awal mulanya hanya karena mau menyelesaikan atau membuat paper dan menyiapkan bahan presentasi di kelas. Lama-kelamaan saya merasa masih banyak yang belum saya ketahui. Selain itu, para dosen saya dulu menuntut agar mahasiswanya membaca buku-buku terbaru, yang berusia sekitar lima tahunan (jurnal-jurnal ilmiah juga membantu kita menemukan berbagai pengetahuan yang aktual). Kemudian saat saya pindah ke Manila, banyak buku-buku bagus yang diobral di book store sehingga dapat diperoleh dengan harga murah. Semua hal ini menumbuhkan kegemaran saya untuk membaca (belajar) dan kecintaan akan ilmu pengetahuan.

 

 

Apa yang menjadi keprihatinan terhadap OSC?

Arah ordo menurut Kfr. Souw perlu diperhatikan. Pertanyaan yang diajukannya: apakah kita mesti bekerja di paroki-paroki atau keuskupan-keuskupan? Apakah profesionalisme dari semua anggota sudah dituntut atau diarahkan? Planning ke depan perlu dipikirkan dengan matang. Pada jaman sekarang profesionalisme itu penting. Maka, mulai dari sekarang harus mulai dipikirkan kandidat macam apa yang kita perlukan. Semuanya mesti profesional. Bagaimana pun kita membutuhkan sarana untuk hidup. Maka, dibayang-kan, bahwa semua anggota itu profesional dan bisa menghidupi ordo.

 

 

Apa harapan Pastor bagi Ordo Salib Suci di masa depan?

Jika mungkin, karya ordo diperluas di berbagai keuskupan, dengan demikian ordo semakin dikenal, tidak hanya dikenal oleh orang-orang Bandung dan sebagian kecil umat Jakarta, Nias, Medan dan Agats, namun oleh sebagian besar umat Katolik di Nusantara. Jika semakin dikenal, calon-calon penerus Ordo akan bertambah pesat dan beraneka ragam (Bhineka Tunggal Ika). Akhirnya semakin banyak lagi keuskupan yang dapat kita jangkau.

 

Masa depan OSC Propinsi Sang Kristus nampaknya cerah. Banyak kaum muda yang masih tertarik kepada gaya hidup OSC. Kfr. Souw sendiri cenderung menerima calon-calon yang sudah menyelesaikan pendidikan S1, atau sekurang-kurangnya D3. Kematangan pribadi calon demikian sudah dapat diandalkan. Mereka juga diharapkan berasal dari keluarga baik-baik dan katolik yang berurat berakar.

 

 

Apa pesan Pastor kepada para generasi muda Ordo Salib Suci saat ini?

Globalisasi merupakan realitas jaman sekarang. Ilmu pengetahuan dan teknologi berkembang pesat, komunikasi antar-individu seolah tanpa sekat, dan berbagai gejala lainnya yang menunjukkan perkembangan. Kaum muda penerus masa depan Ordo mesti berani ditantang untuk tugas-tugas tersebut. Belajar, belajar, dan belajarlah dalam berbagai macam hal tanpa mudah menyerah!.

 

 

 

Diambil dari Majalah Nola Edisi 04, September-Oktober 2012. Wawancara oleh Fr. Peter Elvin Atmaja Hidayat, OSC

 

 

 

 

***

 

 

 

 

Lebih Dekat Bersama Pastor Anton Rutten, OSC

 

Pastor Anton Rutten, OSC. (2017 by Opticum)

 

 

motivasi saya sendiri yakni saya merasa dibutuhkan oleh umat sehingga saya ingin menularkan kepada mereka dalam hal iman kepada Kristus serta membahagiakan umat.”

 

BIODATA

Nama Lengkap                         : Rutten Anton Hubert Leonard

Tempat, tanggal lahir                : Wanssum, 4 Juni 1938

Anak ke                                     : 6 dari 12 bersaudara

Novisiat                                     : Neeritter, 1957-1958

Skolastikat                                : St. Agatha, 1958-1964

Kaul Pertama                            : Neeritter, 28 Agustus 1958

Kaul Kekal                                 : St. Agatha, 28 Agustus 1961

Tahbisan Imamat                       : St. Agatha, 20 Juli 1964

(sebelumnya menerima tahbisan rendah, subdiakon, dan diakon)

 

KARYA PASTORAL

3 Juli 1965-November 1983                   : Pastor Rekan di Cigugur

November 1983-8Agustus 1988            : Paroki Kamuning

8 Agustus 1988 – 2 Mei 1990                : Pastor Rekan di Paroki St. Laurentius, Sukajadi dan Lembang

1 Mei 1990 – 31 Desember 1991          : Pastor Paroki St. Laurentius, Sukajadi

1 Januari 1992 -15 September 2005     : Pastor Paroki Kristus Raja Cigugur

15 September 2005 – 28 Mei 2007       : Rektor Domus Priorat Pratista

28 Mei 2007 – 19 Mei 2013                   : Prior Priorat Pratista

2014 s/d sekarang                                 : Socius para frater di Skolastikat Ordo Salib Suci

 

JABATAN LAINNYA

1979-2008                       : Anggota Dewan Imam

1979-2008                       : Anggota Dewan Penasihat

1979-1988                       : Anggota Dewan Keuangan

1984-1991                       : Ketua Yayasan Salib Suci

1984-1991, 2005-2008             

Ketua MPK, Majelis Pendidikan Katolik atau disebut juga Badan Koordinasi antara Yayasan-yayasan Pendidikan Katolik dari PAUD sampai SLA

1984-1991                       : Pengurus Perhimpunan Borromeus

1987-1992                       : Ketua Yayasan Buana Mekar

2005-sekarang                : Pengawas Yayasan Buana Mekar

2008-2013                       : Anggota Pengurus Camillus

1995-1998                       : Anggota Dewan Provinsi OSC

2001-2013                       : Anggota Dewan Provinsi OSC (5 periode)

2007-2013                       : Prior Priorat Pratista

 

 

Pastor Rutten, OSC (paling kanan) foto bersama komunitas Priorat Sultan Agung.

Tokoh yang satu ini sangat fasih berbahasa Sunda sampai-sampai sempat ketika turun dari angkot, sopirnya sendiri kaget melihat bule bisa berbahasa Sunda dengan halus. Sopir angkot itu jadi malu dan memberikan uang kembalian sesuai tarif. Siapa lagi kalau bukan Pastor Rutten, OSC. Oleh sebab itu, wawancara tim Nola dengan Pastor Rutten, OSC menjadi salah satu inspirasi bagi kita semua. Marilah kita melihat perjalanan beliau dan keteladanan hidupnya sebagai seorang Krosier.

 

 

 

 

Pastor berasal dari Negri Kincir Angin (Kini sudah WNI), lalu bagaimana reaksi Pastor ketika akan diutus ke Indonesia dan apa alasan pastor bersedia untuk diutus?

Saya senang sekali karena merasa lebih terpanggil langsung dengan umat daripada menjadi dosen. Saya suka diutus sebagai misionaris. Saya sempat dicalonkan untuk menjadi dosen di Seminari Menengah yang dikelola OSC, tetapi saya tidak mau karena takut distudikan. Bagi saya, studi akan membuat saya kesulitan untuk mengerti sehingga saya lebih senang sebagai misionaris. Awalnya, bayangan saya mengenai Indonesia sangat sedikit. Tetapi, saya tidak takut karena kakak dari ayah saya (tante), Suster Maria Regina PBHK, juga menjadi misionaris di Wonosobo, Tegal, dan Maluku. Saya memperoleh gambaran tentang Indonesia melalui cerita dan pengalaman kakak perempuan saya. Tidak ada persiapan yang cukup detail bagi saya waktu itu, hanya ada persiapan khusus yang memang ditujukkan untuk setiap misionaris. Persiapan ini membicarakan hal-hal umum yang dibutuhkan sebagai seorang misionaris (termasuk misionaris lainnya yang diutus ke Afrika Selatan dan Asia). Persiapan ini membutuhkan waktu 6 minggu dan diadakan di Belanda. Ketika saya tiba di Bandung, bahasa yang pertama kali saya pelajari adalah Bahasa Sunda dan bukan Bahasa Indonesia. Justru Bahasa Indonesia sendiri saya “nemu di jalan” (melalui surat kabar, pergaulan, dan percakapan dengan masyarakat sekitar). Tidak ada alasan yang khusus yang membuat diri saya bersedia diutus ke Indonesia. Hanya karena saya senang sebagai misionaris dan bisa melayani umat secara langsung di negara yang baru. Salah satu hal yang membuat saya senang adalah kakak dari nenek (saya menyebutnya sebagai kakek), yaitu Mgr. Goumans, OSC, menjadi uskup Bandung yang pertama.

 

 

 

Sudah puluhan tahun Pastor bertugas di Indonesia. Bagaimana kesan Pastor? Apakah senang? Dalam hal apa dan saat bertugas dimana?

Saya senang terus. Kesulitannya hanya pada saat tugas pertama kali waktu di Cigugur. Beberapa masalah yang saat itu menjadi kesulitan adalah medannya yang belum seperti sekarang, umatnya juga masih belum mengenal Kristus, masalah makanan, dan kesehatan. Tetapi, itu semua seiring berjalannya waktu dapat teratasi dengan kerjasama dari semua umat dan saya sangat senang karena umat di sana merasa dibutuhkan, kemajuan dalam hal pengembangan sosial ekonomi, dan nilai-nilai manusiawi mulai dijunjung tinggi. Apalagi, saat itu ada 2 pastor yang seumuran dengan saya yang juga sama-sama dari Belanda, yaitu Pastor Mathieu Kuppens, OSC (sekarang di Pulau Nias) dan Pastor Straathof, OSC (sudah keluar dan tinggal di Belanda). Pastor Kuppens, OSC berangkat setahun lebih dulu ke Indonesia, setahun kemudian saya satu kapal dengan Pastor Straathof saat i. kami bertiga tinggal bersama di Cigugur, sama-sama dari Belanda, seumuran. Hal ini membuat kami selalu kompak dalam menjalankan tugas-tugas di Cigugur sehingga sangat menguntungkan.

 

 

 

Pastor pernah dipercaya menjabat sebagai Dewan Provinsi. Hal apa yang menjadi suka dan duka Pastor selama ini?

Saya dipercaya sebagai Dewan Provinsi selama 5 periode (4 kali berturut-turut dan 1 kali selingan). Saya merasa senang karena dewannya kompak, kerjasama baik, dan dalam mengambil keputusan tidak sulit. Kalau dukanya ketika tidak kompak, saat memutuskan seseorang, dan mengambil keputusan yang baik sehingga butuh kerja keras untuk berpikir serta melihat secara lebih bijaksana. Keputusan yang muncul mesti membawa kebaikan bagi semua pihak, entah bagi Ordo, orang yang bersangkutan, ataupun pihak yang lain. Sejauh saya menjabat Dewan Provinsi, kinerja dalam satu dewan sendiri seringkali kompak dan tidak menyulitkan.

 

 

 

Pastor sudah lama menjadi Krosier, lalu bagaimana pandangan Pastor terhadap OSC saat ini, apakah mengalami kemunduran atau kemajuan?

Secara umum ada peningkatan terutama banyaknya kesempatan yang diberikan Ordo kepada anggota-anggotanya untuk studi di luar negri sehingga mereka mendapat wawasan dan pandangan yang lebih luas khususnya melihat jaman sekarang dimana ilmu pengetahuan semakin berkembang dan potensi dari anggota Ordo juga cukup mengesankan. Keadaan ini juga menjawab kebutuhan Ordo dimana kita mesti memiliki generasi penerus yang baik. Hal ini cukup menggembirakan dan merupakan salah satu kekuatan panggilan di OSC, terbukti dengan adanya keaktifan anggota-anggota OSC di komisi-komisi di berbagai Keuskupan.

 

 

 

Bagaimana tanggapan Pastor terhadap para Konfrater yang kandas di tengah jalan?

Bagi mereka, saya tidak tahu karena itu adalah keputusannya. Tetapi bagi Ordo, jelas merupakan pukulan. Hal ini disebabkan adanya kestabilan panggilan yang tidak teratur dalam diri orang yang bersangkutan. Akarnya tidak kuat terutama dalam membangun hidup kerohanian. Salah satu yang menjadi penyebab adalah terlalu sibuk untuk mengurus segala sesuatu sehingga waktu luang untuk berdoa kurang dan ini mengakibatkan hidup panggilan menjadi goyah. Mungkin juga mereka merasa tidak dibutuhkan, padahal umat sangat membutuhkan sehingga seperti kawanan domba yang tidak mempunyai seorang gembala dan mungkin juga  menjadi pukulan bagi umat yang dipercayakan kepadanya. Bagi saya sendiri terutama melihat situasi seperti ini, dibutuhkan suatu dorongan pribadi untuk menyemangati hidup panggilan. Dorongan itu adalah bahwa saya dibutuhkan oleh umat karena saya sebagai misionaris sehingga dalam diri muncul suatu motivasi untuk melayani umat dengan hati yang tulus dan sungguh-sungguh. Inilah yang membuat saya bertahan hingga sekarang ini.

 

 

 

Menurut Pastor, apa yang menjadi kunci utama sehingga sampai saat ini pastor masih semangat untuk melayani umat?

Motivasi saya sendiri, yakni saya merasa dibutuhkan oleh umat sehingga saya ingin menularkan kepada meraka dalam hal ini iman kepada Kristus serta membahagiakan umat. Saya juga memiliki keyakinan diri untuk membantu orang lain. Keinginan saya yang lainnya adalah membebaskan orang agar bisa lepas dari keterkekangan terhadap kepercayaan-kepercayaan takhayul. Dalam hal ini, saya merasa kasihan dengan mereka karena tergantung dari hal-hal yang membuat mereka menjadi ketakutan dan tentunya tidak membahagiakan mereka. Kepercayaan kepada takhayul juga tidak mendekatkan diri seseorang kepada Allah. Untuk hal yang demikian, saya merasa gagal karena masih banyak orang yang percaya terhadap takhayul-takhayul itu, mungkin juga bisa bertambah banyak.

 

 

 

Nasehat apa yang dapat Pastor bagikan kepada kami para Krosier muda?

Jangan lupa kalau kita dipanggil untuk mengikuti Kristus dan kita juga harus melihat dunia dengan mata Kristus pula. Kawanan domba membutuhkan seorang gembala dan harus diingat bahwa Kristus sendirilah yang mengutus kita, bukan diri sendiri atau pun orang lain. Sangat mungkin selama belajar filsafat dan teologi Kristus menghilang dari pandangan dan diri kita, tetapi harus selalu diingat bahwa dasar dalam hidup panggilan adalah Kristus yang memanggil. Selama belajar kita disiapkan untuk menggembalakan domba-domba yang dipercayakan Allah kepada kita. Dalam perjalanan hidup panggilan pasti ada rasa jenuh. Ketika jenuh, yang harus dilakukan adalah tetap disiplin dalam berdoa dan hadir dalam acara komunitas. Kedisiplinan menjadi sangat penting dan mesti diterapkan dalam hidup bersama karena menjadi kekuatan untuk mengalahkan kelemahan.

 

 

Diambil dari Majalah Nola Edisi 03. Mei-Juni 2013, p.12-18. Ditulis ulang oleh Fr. Pranadi, OSC dengan beberapa penyesuaian.

 

 

 

 

***

 

 

 

 

Lebih Dekat Bersama Pastor Agustinus Gani, OSC

 

Pastor Agustinus Gani, OSC (92th)

 

 

Pada tanggal 20 Juni 2012, Kfr. Agustinus Gani, OSC ,merayakan pesta ulang tahun imamat yang ke-55. Berikut wawancara eksklusif Redaksi Nola dengan beliau, sosok imam yang biasa dipanggil :Eyang Gani”. Sekarang usia beliau adalah 92 tahun dan harapannya mencapai usia 100 tahun.

 

Nama                             : Agustinus Gani

Tempat, tanggal lahir     : Cirebon, 25 April 1926

Anak ke                          : 1 dari 4 bersaudara

Nama Ayah                    : Salkia

Nama Ibu                       : Surmin

Tahbisan                        : 20 Juni 1957 di Paroki St. Petrus Katedral, Bandung.

1947-1953                     : Studi Filsafat di Seminari Cadas Hikmat, Bandung.

1953-1957                      : Studi Teologi di Seminati Tinggi St. Paulus Kentungan, Yogyakarta.

20 Juni 1957                  : Tahbisan imamat oleh Mgr. P.M. Arnz, OSC sebagai imam diosesan.

1957-1961                      : Pastor rekan di Gereja Salib Suci Kmuning, Bandung.

1961-1966                      : Pastor di Gereja Bunda Maria, Garut.

1966-1973                      : Pastor rekan di Gereja Hati Kudus Yesus, Tasikmalaya

1974-1975                      : Masuk Novisiat OSC di Pandu

1975-2007                      : Pastor rekan di Gereja Kristus Raja, Cigugur

1983-1984                      : Studi Kapita Selekta di Universitas St. Thomas, Roma Italia

2007-                              : Panti Tresna Wreda Nazareth, Cicadas

Sekarang                        : Priorat Sultan Agung

 

 

Sebelum masuk OSC, Pastor telah menerima tahbisan imamat sebagai seorang imam diosesan. Hal apa yang membuat pastor tertarik bergabung dengan OSC?

Saya bergabung dengan OSC karena tertarik pada pola hidup bersama. Itulah yang membuat saya bangga menjadi biarawan OSC. Kebersamaan menjadi ciri khas dari OSC yang tidak pernah saya lupakan. Saya sangat senang kalau ada acara ulang tahun karena melalui acara tersebut baik konfrater maupun frater yang merayakan ulang tahunnya bisa saling bertemu, melepas tawa, sharing, dan yang paling penting adalah saling memperhatikan dan meneguhkan hidup panggilan satu sama lain. Saya begitu gembira jika melihat kunjungan para konfrater dan frater saat acara ulang tahun, apalagi kalau yang datang cukup banyak. Ada suatu kebersamaan yang menggugah perasaan yang juga dapat membangkitkan hidup spiritual para krosier.

 

 

Bagaimana pengalaman hidup membiara pastor sebelum dan sesudah menjadi biarawan OSC?

Sebelum masuk sebagai OSC, pengalaman hidup yang saya dapatkan lebih banyak negatifnya. Hidup saya terasa sepi dan kosong, hampir tidak ada pengalaman yang bisa mengisi kehidupan saya sebagai seorang imam. Hidup saya lebih kepada hidup individu/masing-masing. Saya merasakan kesendirian di pastoran, tidak ada teman untuk saling berbagi cerita dan pengalaman. Tetapi, setelah saya menjadi biarawan OSC saya memasuki kehidupan yang berbeda yang membuat hidup saya lebih bersemangat dan enerjik. Kebersamaan itulah yang membuat saya hingga kini masih tetap mencintai OSC, apalagi sampai sekarang masih terus dipertahankan tradisi doa dan koor bersama.

 

 

Apa suka duka yang pastor alami selama bertugas menjadi seorang imam?

Begitu banyak pengalaman sukacita yang saya rasakan selama bertugas menjadi seorang biarawan OSC. Saya bisa merasakan kebersamaan para anggota OSC yang begitu hangat dan membawa umat beriman kepada Kristus dengan total. Selama 32 tahun di Cigugur saya mempermandikan, menikahkan, dan menguburkan umat, saya juga melayani dan menyuburkan kategorial Legio Maria sampai saya jatuh cinta kepada Legio Maria hingga saat ini. Pada saat itu belum ada prodiakon.

 

Saya melakukan pelayanan tersebut dengan sukacita dan perasaan gembira karena saya sendiri terlibat langsung. Saya juga menyadari bahwa pelayanan-pelayanan itu sebagai tugas perutusan yang dipercayakan oleh Tuhan kepada saya untuk membawa umat beriman kepada Kristus. Dengan cara ini, saya semakin bahagia karena iman umat kepada Yesus Kristus terus bertumbuh. Selain daripada itu, saya dapat menumbuhkan panggilan kaum muda untuk tertarik menjadi biarawan OSC. Hingga sekarang mereka berhasil dan masih terus memberikan sumbangsih yang cukup penting dalam keanggotaan Ordo. Mereka adalah Kfr. Maman Suharman, OSC dan Kfr. Warhadi, OSC. Pengalaman sukacita yang tak terlupakan bagi saya ialah pada saat menjalani masa liburan bersama (alm) Kfr. Chris Tukiyat, OSC dengan menghabiskan waktu berjalan-jalan ke Bali, Sumatra, dan Yogyakarta. Peristiwa itu sangat mengesankan dan masih tersimpan erat dalam memori saya. Apalagi ketika saya berjumpa kembali dengan beliau (alm. Kfr. Chris Tukiyat, OSC) di Panti Tresna Wreda Nazareth ini. Walaupun Kfr. Chris Tukiyat, OSC sudah ke pangkuan Bapa, saya yakin di surga sana beliau masih teringat dan rindu akan pengalaman liburan kita berdua. Jika ditanya apakah pengalaman duka selama saya menjadi biarawan OSC, saya dengan lantang mengatakan: “Tidak ada!, karena saya bahagia selalu dan always happy”. Ada duka itu berarti kesedihan menjadi biarawan OSC.

 

 

Pastor adalah biarawan OSC paling senior dari segi usia saat ini. Bulan Juli 2012 pastor merayakan pesta imamat yang ke-55 di Pratista. Apa motivasi yang membuat pastor selalu bersemangat untuk menghayati ketiga kaul yang telah diikrarkan?

Saya tidak pernah luput untuk mengikuti ekaristi dan doa-doa rutin (Rosario dan brevir). Dua hal ini menjadi fondasi saya dalam menghayati dan memaknai hidup berkaul tanpa mengeluh. Saya mendapatkan banyak buah rohani yang bisa dipakai untuk menjadi seorang gembala yang baik. Melalui ekaristi saya merasa terpanggil oleh Kristus sebagai Imam Agung dalam perhatian kepada umat yang saya layani. Tidak ada cara lain yang paling ampuh untuk mematahkan semangat saya dalam mengikuti ekaristi, doa Rosario, dan brevir. Saya sudah merasakan hal itu dengan sendirinya. Doa bagi saya adalah sebuah kerinduan yang intim kepada Kristus yang bukan lagi menjadi alat atau senjata, tetapi sudah merupakan bagian dari jiwa saya.

 

 

Apa harapan pastor untuk Ordo Salib Suci di kemudian hari?

Saya berharap supaya OSC dapat mengerti kemajuan zaman sekarang seperti modernism yang sangat terlihat dengan berkembangnya teknologi-teknologi baru yang dapat meruntuhkan iman umat beriman kepada Kristus. Saya juga menginginkan agar OSC dapat merangkul dan memperhatikan iman kaum muda-mudi, karena mereka adalah generasi dan titik sentral dari pertumbuhan Gereja khususnya zaman ini. Jangan sampai kaum muda menganggap Gereja hanyalah sebagai bangunan kuno yang dipenuhi dengan ornament unik, interior antic, dan seni yang mengagumkan, tetapi mesti mengena kepada iman umat terutama kaum muda supaya ruang kerohanian mereka terisi penuh oleh ajaran-ajaran Kristus.

 

 

Apa pesan dari pastor bagi para konfrater dan frater OSC saat ini?

Saya ingin agar para konfrater dan frater tetap memperhatikan liturgy. Karisma OSC adalah liturgy, maka saya mau liturgy dibuat hidup, jangan sampai kering apalagi iman umat semakin rapuh gara-gara liturgy. Kreativitas dalam liturgy itu penting, tetapi jangan asal-asalan, mesti tetap mempertimbangkan tinjauan teologis dan pastoralnya. Oleh karena itu, para frater mesti diajarkan sejak awal di novisiat bagaimana membuat liturgy yang anggun dan indah serta dapat memperdalam iman umat kepada Kristus. Selain itu, seluruh konfrater dan frater mesti memberi perhatian kepada muda-mudi di paroki-paroki yang dilayani oleh pastor dan frater OSC. Hospitalitas mesti dijunjung tinggi, jangan sampai luntur. Satu hal yang paling penting adalah doa. Hidup doa sebagai fundamen melalui doa yang intim kepada Kristus, hidup liturgy dan hospitalitas akan menjadi satu kesatuan yang penuh dengan makna. Pengalaman ini saya rasakan ketika di Cigugur, kami (para pastor dan frater) selalu mengadakan doa brevir dan completorium. Doa menjadi santapan rohani saya yang utama. Komunitas-komunitas yang belum ada kegiatan bersama, alangkah indahnya jika meluangkan waktunya untuk berdoa bersama. Saya yakin waktunya pasti ada, tapi belum mau melakukannya.

 

 

 

Note: Wawancara dilakukan oleh Fr. Evodius, OSC, dimuat dalam majalah Nola Edisi 04, Jul-Agst 2012, p.13-17, ditulis ulang oleh Fr. Pranadi, OSC

 

 

***