KUMPULAN VERBA PROVINCIALIS

Pastor Basilius Hendra Kimawan, OSC. Provinsial Ordo Salib Suci, Provinsi Sang Kristus Indonesia

ANGGUR BARU DALAM KANTONG BARU

Nola Edisi 04. Juli – Agustus2018

 

Pada tahun 2019, Provinsi Sang Kristus akan mengadakan dua acara penting, yaitu Musyawarah dan Kapitel Biasa, dengan tema “Anggur Baru dalam kantong Baru”. Sebagaimana yang dituliskan dalam TOR Musyawarah dan Kapitel yang telah sampai ke tangan para konfrater, tema ini diangkat dari Dokumen Vatikan 2017 tentang Hidup Bakti sejak Konsili Vatikan II yang berjudul “Anggur Baru, Kantong Baru Pula”. Diharapkan setiap Krosier menjadi “anggur baru yang baik, enak dan sehat”.

 

Dalam Kitab Suci “anggur” merupakan lambang sukacita, kegembiraan, kesukaaan, kebahagiaan, dan kesenangan yang tiada tara. Anggur adalah rahmat baru yang senantiasa Tuhan curahkan kepada kita sehingga kita bersukacita. Apa yang membawa sukacita bagi Ordo pada hari ini dan masa yang akan datang? Menurut saya, banyak hal yang bisa membawa sukacita bagi kita, misalnya: anggota-anggota baru yang menjamin kelangsungan Ordo, kesetiaan, kesehatan dan semangat melayani para Krosier, kegembiraan dalam hidup dan pelayanan yang kita alami, dll.

 

Agar kita bisa menghasilkan anggur yang baru, baik, enak, dan sehat, maka dibutuhkan kantong baru. Kantong anggur baru mesti baru karena kantong anggur lama sudah keras dan kaku. Jika kantong lama dituangi dengan anggur baru dan anggur itu kemudian mengalami fermentasi, kantong yang keras dan kaku itu pasti akan robek dan hancur. Kantong baru itu bersifat elastis, lentur, dan tentunya kuat sehingga bisa menampung anggur baru yang akan berkembang menjadi anggur yang baik dan enak.

 

Jika saya hubungan dengan Ordo Salib Suci, kita harus menjadi kantong yang baru agar semua rahmat baru yang Tuhan berikan kepada kita bisa kita tampung dan kita kembangkan. Tanpa melupakan identitas, ordo – sebagai kantong baru – kita mesti meninggalkan cara-cara hidup lama yang keras dan kaku yang tidak sesuai lagi dengan situasi masa kini.

Sambil merefleksikan “kantong lama” (sejarah Ordo, kejayaan masa lalu, gaya hidup lama, pola pikir lama, dll), kita terbuka pada situasi-situasi baru zaman ini yang berubah dengan cepat. Kita belajar untuk beradaptasi dan bertransformasi menuju hidup Krosier yang lebih baik dan pelayanan kita pada Tuhan dan sesama, baik di dalam komunitas maupun di luar komunitas, semakin baik pula.

 

“Kantong baru” seperti apa yang kita harapkan pada tahun-tahun mendatang sehingga bisa menampung “anggur baru”? Itulah yang akan kita diskusikan bersama dalam Musyawarah dan Kapitel 2019. Mari kita semua berperan aktif dalam mempersiapkan Musyawarah dan Kapitel 2019. Selamat bersharing dan berdiskusi dalam priorat, komunitas, dan konven regional masing-masing.

 

***

PESTA EMAS KONSTITUSI

Nola Edisi 03. Mei – Juni 2018

 

Tahun lalu (2017) adalah pesta emas Konstitusi OSC 1967. Untuk menggemakan jubileum konstitusi ini, sekitar awal Februari tahun lalu saya telah mengirimkan bahan refleksi pribadi dan komunitas bagaimana membaca dan merenungkan Konstitusi secara spiritual. Bahan ini diterbitkan oleh Komisi Spiritualitas OSC dan diterjemahkan oleh Komisi Spiritualitas Provinsi Sang Kristus. Setelah itu, gaung jubileum ini kurang terasa.

Bila kita membandingkan Konstitusi 1967 dengan Konstitusi sebelumnya, kita akan merasakan suatu perbedaan yang besar. Konstitusi lama terasa bernuasa Yuridis. Misalnya, kita mesti berdoa rosario bersama setiap hari, kecuali kalau ada tugas lain, diizinkan untuk tidak berdoa rosario bersama; kalau kita terlambat datang doa ofisi, maka kita harus membungkukan badan atau berlutut di depan Sakramen Mahakudus beberapa saat sebelum badan tegak kembali; kita hanya boleh memiliki sepatu dan kaos kaki berwarna hitam, dll.

Berbeda dengan konstitusi lama, konstitusi baru bernuansa sebagai dokumen spiritual yang menjadi dasar hidup dan karya kita. Konstitusi ini memberi inspirasi bagi kita para Krosier agar berpegang teguh dan setia kepada pilihan hidup yang telah kita pilih, yaitu menjadi seorang Krosier.

Berdasarkan konstitusi, hidup bersama dalam komunitas adalah identitas kita yang paling utama. Hidup bersama ini juga yang menjadi cita-cita luhur pendiri kita. Karenanya, aspek-aspek dalam hidup bersama ini harus diperhatikan dengan baik, misalnya doa bersama dan kapitel komunitas. Karena hidup bersama ini sangat penting maka setiap Krosier mesti menanamkan dalam dirinya kehendak kuat untuk membangun hidup bersama.

Pada akhirnya, seperti yang ditulis oleh Kfr. Hubertus Lidi, OSC., dalam buku “Risalah Membaca Konstitusi Religius”, kita dipanggil untuk menjadi manusia “konstitusional”, Krosier yang konstitusional. Menjadi Krosier konstitusional tidak berarti kita menjadi Krosier yang hanya sekedar taat dan mengikuti aturan-aturan konstitusi, melainkan Krosier mampu memahami dan menghidupi hikmat Allah yang tertuang dalam kata-kata konstitusi. Semoga!

 

***

 

Nola Edisi 02. Maret-April 2018

Apakah hidup kita saat ini sebagai seorang Krosier itu adalah suatu panggilan (calling), suatu profesi, sudah terlanjur, tidak ada pilihan lain, atau? Mengapa kita tetap mau menjadi seorang Krosier? Apakah kita tetap sebagai seorang Krosier itu karena sudah membuat kita aman, nyaman, dan tentram?

Sengaja pertanyaan-pertanyaan itu saya lontarkan, supaya kita berefleksi mengenai hidup kita saat ini. Apalagi, kita baru saja merayakan Paskah, kebangkitan Tuhan Yesus, yang seharusnya juga membawa kebangkitan hidup bagi kita semua.

Saya cukup yakin, para Krosier, akan menjawab pertanyaan yang saya lontarkan itu dengan mantap, “Ya, ini adalah panggilan saya.” Saya mau menjadi seorang Krosier dan tetap sebagai Krosier karena “panggilan” dari Tuhan sendiri.

Pertanyaan selanjutnya adalah apakah benar, kita para Krosier, menghidupi panggilan itu. Apakah ciri-ciri atau kriteria kalau hidup saya saat ini benar-benar merupakan suatu “panggilan” dari Tuhan sendiri, dan bagaimana saya menghidupinya?

Dalam buku “Maximizing Your Leadership Impact”, Paulus Winarto menuliskan bahwa ada tiga hal yang bisa kita pakai untuk menjadi alat ukur suatu panggilan itu, yaitu: talent, passion, dan compassion. Talent adalah suatu kemampuan kita untuk melakukan sesuatu. Passion adalah aktivitas yang ketika kita lakukan kita akan merasa adanya semangat luar biasa. Ada dorongan atau energi dari dalam. Sedangkan compassion adalah aktivitas yang kita lakukan karena ada belas kasih atau belarasa akan suatu keadaan. Pertemuan dari ketika hal itu merupakan “calling”. Orang yang sadar bahwa hidupnya adalah suatu panggilan, akan senantiasa tahu tujuan hidupnya itu apa. Dan tujuan hidup kita sebagai seorang Krosier selalu berhubungan dengan tindakan melayani.

Maka, mari kita berefleksi apakah hidup saya sebagai Krosier adalah panggilan.

  • Talent: apakah kita memiliki kemampuan untuk hidup bersama, untuk berdoa, untuk melakukan karya pelayanan yang dipercayakan kepada kita, untuk berelasi dengan sesama, baik di dalam komunitas maupun di luar komunitas?

  • Passion: apakah yang kita lakukan itu berdasarkan talent yang kita miliki, kita lakukan dengan penuh semangat dan sukacita?

  • Compassion: apakah kita bisa berbelarasa dengan sesama saudara, baik di dalam komunitas maupun di luar komunitas? Apakah kita peka akan kebutuhan komunitas, Gereja dan masyarakat?

Jika ada jawaban “tidak” maka kita mesti memurnikan kembali motivasi kita sebagai seorang Krosier. Krosier sejati akan menjawab “Ya” untuk semua pertanyaan itu. Jika benar-benar menghidupi “panggilan”, kita akan mengalami kepuasan yang tidak bisa dibandingkan dengan materi atau apa pun namanya.

Kesadaran akan hidup sebagai Krosier adalah suatu panggilan, akan membuat kita terus menerus menghidupi identitas kekrosieran kita sampai menghembuskan nafas terakhir.

 

 

***

 

Verba Provincialis Februari 2018

Beberapa waktu lalu saya menghadiri Pesta 25 Tahun Imamat Kfr. Paskasius Bekatmo di Gereja St. Ignatius, Cimahi. Dari peristiwa itu saya ingin membagikan dua hal, yaitu apa yang disampaikan oleh Mgr. Anton dalam homili dan yang disampaikan oleh Kfr. Bekatmo dalam sambutannya.

 

Mgr. Anton menceritakan bahwa beberapa imam ingin agar hari Rabu ditetapkan sebagai hari libur untuk para imam seperti pada masa lalu. Alasannya seperti karyawan kalau bekerja, libur satu hari dalam satu minggu, para imam pun butuh libur setelah enam hari bekerja. Uskup mengatakan kalau para imam merasa diri sebagai karyawan atau pekerja ya silahkan libur. Itu adalah hak-nya. Seorang karyawan melakukan apa yang diperintahkan oleh majikannya. Tanggung jawabnya kepada majikannya. Kalau karyawan itu ngaco bisa dipecat, namun hal ini berbeda dengan imam. Imam itu adalah gembala dan bukan pekerja, dia bertanggung jawab untuk menggembalakan umatnya. Tugasnya itu 1 X 24 jam (full time), kapan pun mesti siap untuk melayani jika ada domba yang membutuhkan pelayanan dengan segera.

 

Menurut saya, apa yang dikatakan oleh Mgr. Anton itu sangat tepat. Imam itu bukan karyawan, namun dia adalah gembala! Sebagai gembala dia bisa menentukan kapan saja dia ingin istirahat. Menjadi gembala yang tidak baik dan malas pun bisa. Beda dengan karyawan, waktu kerja dan istirahatnya sudah jelas dan ditentukan. Kalau kerjanya tidak benar dan tidak produktif, dia bisa dipecat. Maka, apakah para Krosier yang imam, demikian juga yang non imam adalah sekedar karyawan atau pekerja? Kita bisa merenungkannya. Saya kira jawabannya jelas. Kita bukan karyawan, namun gembala. Sebagai gembala setiap saat kita bisa diganggu saat “domba” benar-benar membutuhkan bantuan kita.

 

Dari sambutan Kfr Bekatmo, ada hal yang menarik yang beliau katakan. Pesta perak imamatnya ini dirayakan saat fokus pastoral Keuskupan Bandung adalah tahun keluarga. Kfr Bekatmo mengatakan Paus Fransiskus pernah mengatakan bahwa tidak ada keluarga yang sempurna, tidak ada suami atau istri atau anak yang sempurna. Jika demikian, semuanya harus ikut saling menyempurnakan. Kfr Bekarmo pun ingat akan pesan orang tuanya bahwa supaya saling mendoakan satu sama lain dan mereka pun akan selalu mendoakan anak-anaknya sekalipun mereka sudah meninggal.

 

Ketika Kfr. Bekatmo menyampaikan sambutannya ini, saya langsung teringat pada kita semua sebagai Krosier. Saya yakin tidak ada Krosier yang sempurna (mungkin kalau sempurna sudah ada bersama Bapa di surga). Hal itu harus kita sadari! Kalau kita tidak sempurna, maka mari kita saling menyempurnakan, saling membangun, saling meneguhkan satu sama lain, dan saling mendoakan sehingga kita bisa menjadi Krosier yang sejati. Jangan sampai kita saling menghakimi dan menjatuhkan. Sesama Krosier adalah saudara kita. Dengan demikian dalam hidup kita setiap hari, baik dalam hidup komunitas dan dalam berkarya kita mesti saling menumbuhkan sehingga kita semua bisa berkembang dan menghidupi hidup sebagai seorang Krosier sebagaimana tergambar dalam profil.

 

Nola Edisi 01. Januari – Februari 2018

 

***

 

Verba Provinsialis Desember 2017

 

Para Konfrater yang terkasih,

Adven sudah kita masuki dan Natal semakin mendekat. Menjelang Adven 2017 ini, Magister General menuliskan surat gembala untuk kita semua dengan tema: “Standar Hidup individual dan Komunal” (Surat dari Magister General ini bisa kita renungkan dalam Nola edisi ini).

 

Bagi saya, tema ini sangat menarik dan menimbulkan banyak pertanyaan dalam benak saya. Salah satu pertanyaan yang muncul dalam benak saya, adalah, “Mengapa Magister General mengangkat tema ini?” Saya menduga, Magister General membuat surat gembala ini karena beliau prihatin akan kehidupan sehari-hari beberapa Krosier. Di satu sisi, beliau melihat ada Krosier yang bisa hidup apa adanya (wajar dan sederhana), hidup dan berkarya secara maksimal tanpa mencari-cari fasilitas dan koneksi, hidup dalam ketaatan pada superior/rektor komunitas, murah hati dalam melakukan tugas pelayanan dan dalam membantu, baik sesama Krosier maupun umat, dll. Namun, di sisi lain, beliau melihat ada Krosier yang maunya enak, nyaman, santai, dengan gaya hidup high class, mencari-cari fasilitas dan memanfaatkan koneksi, hidup semaunya sendiri, memilih-milih dalam melakukan tugas pelayanan, dll. Menurut saya, apa yang disinyalir oleh Magister General tampak jelas dalam suratnya itu, terlebih-lebih dalam pertanyaan-pertanyaan pendalaman.

 

Dari beberapa pertanyaan yang diajukan, ada satu pertanyaan yang menurut saya harus terus-menerus kita renungkan dalam kehidupan sehari-hari, yaitu, “Apakah Anda dalam kehidupan sehari-hari mampu membedakan kebutuhan dari keinginan” Pertanyaan ini sangat menarik.

 

Beberapa waktu yang lalu, Kfr. Steve Henrich, OSC, Ekonom General,  datang ke Indonesia dan tinggal di Jalan Nias 2. Saya tahu bahwa dia sangat suka chips kentang. Maka, saya menawari dia, apakah mau dibelikan chips kentang atau tidak. Dia menjawab, “Saya sangat ingin, namun tidak butuh”. Steve bisa mengendalikan keinginannya. Kalau kita renungkan secara mendalam dan jujur, beberapa dari kita lebih mengedepankan keinginan! Mengingini sesuatu itu sangat manusiawi dan sifatnya sangat subjektif. Ada yang mengatakan, sumber dari keinginan itu adalah hasrat atau hawa nafsu, yang jika dipenuhi seseorang merasa puas. Yang menjadi masalah, adalah, kalau kita menuruti keinginan kita secara berlebihan. Karenanya, kita mesti mengendalikan keinginan kita, seraya sadar akan identitas kita sebagai seorang religius Krosier. Saat kita menginginkan sesuatu, baiklah kita bertanya: “Apakah saya membutuhkannya atau tidak? Apakah keinginan saya ini pantas/wajar atau tidak bagi seorang religius? dll.”

 

Maka, saya mengimbau agar Surat Gembala Adven dari Magister General ini, benar-benar menjadi bahan refleksi kita bersama, baik secara pribadi maupun komunitas. Surat ini bisa juga menjadi sumber inspirasi bagi pertobatan pribadi maupun komunitas dalam menyongsong Natal 2017, bisa juga menjadi sumber inspirasi dalam membuat resolusi 2018.

 

 

Nola Edisi 06, November-Desember 2017

 

 

***