“Memilih Untuk Memedulikan”
(Sebuah Catatan Pastoral Formasi)
Kfr. Konstantinus Faried Jawa OSC
Perjalanan hidup William James (psikolog dan filsuf) tidaklah mudah. Ia lahir dengan kondisi kesehatan yang rentan akan penyakit dan sering mengalamai kegagalan dalam perjalanan hidupnya. Karya lukisannya tidak mendapatkan apresiasi, bahkan ayahnya mengolok-olok dirinya karena malas dan kurang berbakat. Ia pernah gagal menyelesaikan studi kedokterannya di Harvard University dan gagal dalam ekspedisi antropologi ke hutan hujan Amazon. Semua kegagalan James membawanya pada depresi yang begitu berat sehingga ia berniat untuk mengakhiri hidupnya. Dalam situasi sulit ini, ia mencoba (untuk pertama dan terakhir kali) melakukan eksperimen kecil, yaitu menulis pada buku hariannya bahwa dalam setahun, ia akan berusaha menyakini dirinya sendiri untuk bertanggung jawab 100% atas segala hal yang terjadi dalam hidupnya. Dalam periode tersebut, ia akan melakukan segala sesuatu yang ada dalam kuasanya untuk mengubah keadaanya.
Perjalanan hidup William James memberikan inspirasi bagi saya untuk menulis dan sekaligus merefleksikan perjalanan pastoral formasi di Seminari Menengah Cadas Hikmat (SMCH). Ketika diumumkan dan diberikan SK (surat keputusan) pada bulan September 2020 untuk menjalani tahun pastoral di SMCH, saya bergumam dalam hati; apa yang bisa saya sumbangkan untuk kehidupan di seminari? Kemampuan atau kompetensi diri saya tidak terlalu menonjol dan metode seperti apa yang harus saya gunakan dalam perjalanan pastoral di SMCH? Permenungan ini terus berlari-lari di dalam kepala saya, seakan-akan menuntut jawaban sesegera mungkin. Pada akhirnya, saya menyadari bahwa pilihan saya untuk menjadi biarawan OSC menuntut komitmen pribadi untuk ikut ambil bagian memedulikan (bertanggung jawab) terhadap karya yang dipercayakan kepada saya, khususnya sebagai pendamping di SMCH.
Memampukan Diri
Menjadi pendamping (formator) di Seminari membutuhkan persiapan yang memadai. Persiapan ini berkaitan dengan pengetahuan, karakter dan spiritualitas yang baik. Dengan kata lain, seorang formator harus memiliki kecakapan dalam aspek kognitif, afeksi, psikomotorik, dan spiritual (bdk. Optatam Totius art. 5). Sebagai ‘formator pemula’, saya menyadari kapasitas diri yang masih sangat jauh dari ‘tuntutan’ ke-ideal-an formator. Oleh karena itu, hal pertama yang dapat saya lakukan dalam perjalanan karya ini ialah membentuk pola pikir yang tergerak oleh pilihan menjadi biarawan OSC.
Sejak semula, pilihan untuk menjadi biarawan OSC adalah pilihan bebas saya untuk menjadi kudus. Pilihan menjadi OSC tentu saja berbanding lurus dengan komitmen yang harus saya jalani yaitu memedulikan atau bertanggung jawab atas segala dinamika maupun karya ordo. Salah satu karya ordo ialah menjadi formator di SMCH. Mengemban tanggung jawab sebagai formator di SMCH merupakan tanggapan saya atas panggilan Allah untuk sampai pada kekudusan. Oleh karena itu, selayaknya William James yang meyakini dirinya sendiri untuk bertanggung jawab sepenuhnya atas segala hal yang terjadi di dalam hidupnya maka saya pun demikian. Saya berusaha menyakini diri saya sendiri melalui tanggung jawab sepenuhnya atas karya yang sedang dijalani sebagai formator di SMCH.
Saya menyadari bahwa kemampuan saya sebagai pendamping di seminari masih jauh dari harapan. Hal ini dipicu oleh minimnya pengetahuan dan pengalaman menjadi formator. Akan tetapi, berbekal niat dan keyakinan diri untuk ikut berpartisipasi dalam karya ordo dan Allah, saya berusaha masuk dan tenggelam di dalam rutinitas seminari. Saya meyakini bahwa segala niat dan usaha baik akan mendatangkan rahmat yang baik pula. Segala niat baik akan selalu disertai Allah dan apa yang sedang saya jalani ini adalah karena rahmat Allah semata (bdk. Kor 15:10).
Pastoral Kehadiran
Niat dan keyakinan untuk ikut ambil bagian dalam karya ordo dan Allah sebagai formator tidaklah cukup. Hal ini harus tercermin dalam dinamika hidup sehari-hari karena tugas seorang formator ialah membangun harapan dan keyakinan dalam diri formandi (RD. Agustinus Supardi, Panggilan Dasar Formator Seminari, 2011).
Tugas ini harus dibangun berdasarkan semangat hidup personal. Menjadi pendamping di seminari tidaklah cukup mengandalkan ‘mulut’ untuk memberi nasihat, motivasi, teguran, larangan, dan wejangan-wejangan yang terkonsep, melainkan harus diwujudkan lewat kedalaman aksi. Seorang formator harus menjadi teladan yang hidup dan nyata bagi para seminaris (Bdk. 1 Timotius 4:12). Dengan demikian, harapan agar seminaris dapat bertumbuh dan berkembang dalam perjumpaan dengan Allah, sesama, diri sendiri, dan ciptaan Allah lainnya dapat terpenuhi.
Semboyan Ki Hajar Dewantara (Bapak Pendidikan Nasional) “Ing Ngarso Sung Tulodo, Ing Madya Mangun Karsa, Tut Wuri Handayani”, kiranya dapat menjadi pedoman bagi formator, khususnya diri saya dalam menjalankan karya pastoral di SMCH. Semboyan di atas menggambarkan formator yang berada di depan, di antara, dan di belakang formandi. Formator diharapkan menjadi contoh (sikap dan pola pikir), memberikan inspirasi dan motivasi, serta memberikan kepercayaan kepada formandi dalam menjalani dinamika hidupnya sebagai seminaris. Hal ini terkesan sangat ideal, tetapi tidak mustahil untuk diwujudkan. Oleh karena itu, pemberian diri dan hati pada medan karya menjadi faktor penting dan utama. Hal ini akan menjadi istimewa jika didukung oleh persiapan khusus formator karena dari merekalah muncul insan-insan pemimpin Gereja di masa depan (RD. Agustinus Supardi, Panggilan Dasar Formator Seminari, 2011).
Pastoral kehadiran menjadi modal bagi saya dalam menjalani pastoral formasi di SMCH. Selain berusaha menjadi teladan dan inspirator bagi seminaris, secara perlahan-lahan semboyan Ki Hajar Dewantara di atas melekat di dalam diri. Saya tidak saja sebagai formator yang memberikan keteladanan dan inspirasi bagi seminaris, tetapi sekaligus saya berperan sebagai formandi yang dibentuk oleh diri sendiri (alah bisa karena biasa). Pastoral kehadiran ini saya maknai tidak sekadar sebagai tuntutan karya, melainkan sebuah daya bagi saya yang muncul dari kedalaman rasa sebagai biarawan. Saya tidak sekadar menjadi teladan karena tuntutan karya, melainkan tuntutan sebagai manusia (biarawan) yang berintegritas.
Formasi sebagai Karya Sinodal
Dalam Optatam Totius art. 3 menegaskan tujuan utama berdirinya seminari menengah. Dalam periode ini, kaum muda (seminaris) dituntun untuk memperoleh hidup rohani yang khas untuk mengikuti Kristus dengan semangat rela berkorban dan hati yang jernih. Pada akhirnya, seminaris disiapkan dan dituntun untuk menjadi pewarta kabar sukacita Kristus, khususnya menjai imam. Pencapaian tujuan atau harapan ini bukanlah sebuah perkara mudah. Proses ini membutuhkan dedikasi pelayanan formator yang kompeten serta melibatkan beragam pihak yang dapat menunjang perkembangan dan pertumbuhan seminaris.
Proses pendampingan kaum muda di seminari menengah harus ditopang, diteguhkan, dan didorong oleh beragam unsur dan pihak. Hal pertama yang harus menjadi perhatian ialah; mempersiapkan tenaga formator yang kompeten dari beragam aspek, seperti studi atau kursus, pengalaman pastoral yang cukup, dan pembinaan yang khas di bidang rohani serta pendidikan (Bdk. Optatam Totius art. 5).
Dengan kata lain, seorang formator harus memiliki kecakapan dalam aspek spiritual, pastoral, personal, dan kemanusiaan yang didukung oleh passion dalam karya kerasulannya di seminari. Profesionalitas formator harus ditopang juga oleh kerja sama dengan orang tua, guru, bahkan umat pada umumnya (Bdk. Optatam Totius art. 2). Pada periode ini, perjumpaan seminaris dengan orang tua, guru, dan setiap orang yang bersinggungan secara langsung menjadi bagian penting pertumbuhan iman dan afeksi mereka dalam menanggapi panggilan ilahi.
Peran yang juga signifikan dalam pertumbuhan dan perkembangan formasio di seminari ialah kolegial imam. Dalam Optatam Totius art. 2 menegaskan, semua imam ikut ambil bagian dalam menumbuhkan panggilan melalui semangat kerasulan dengan rendah hati, ketekunan bekerja, kegembiraan hati dan sikap saling mengasihi, serta kerja sama persaudaraan di antara kolegial imam. Seruan Optatam Totius dari Paus Paulus VI tahun 1965 menegaskan sekaligus mengundang seluruh umat Allah untuk ikut bekerja sama dan bertanggung jawab secara aktif dalam mengembangkan panggilan, khususnya dalam menanggapi karya penyelenggaraan ilahi dalam mengemban tugas imamat hirarkis Kristus. Saya menyadari banyak kelemahan dan kekurangan yang dialami dalam perjalanan pastoral formasi di SMCH. Keterbatasan pengetahuan dan pengalaman menjadi hambatan dalam proses pastoral sehingga saya kurang percaya diri dan pesimis dalam proses pendampingan. Pada akhirnya, saya terinspirasi oleh refleksi akhir dari Romo Agustinus Supardi yang mengatakan bahwa menjadi formator adalah panggilan istimewa dalam mempersiapkan pekerja-pekerja pastoral masa depan Gereja. Oleh karena itu, menjadi formator bukan sekadar memenuhi kaul ketaatan pada pemimpin, melainkan sebuah tugas mulia yang harus dipersiapkan dengan matang dan didorong oleh passion untuk mengabdi. Dan hal ini harus saya pelajari, sadari, maknai, dan usahakan agar perjalanan karya ini menjadi ringan dan berdampak.
Kfr. Konstantinus Faried Jawa OSC
Pamong SMCH
No responses yet