ALLAH MENDATANGKAN KEBAIKAN BAGI MEREKA YANG MENGASIHI-NYA (ROMA 8:28): BERKAUL SAMPAI MATI
Kfr. Yustinus Yung Sutrisno, OSC
Bersaudara di Ordo Salib Suci
Saya merasa senang bahwa selama kurang lebih tujuh tahun ini saya hidup dalam Persaudaraan Salib Suci. Ada juga rasa tidak percaya dan kagum atas segala langkah yang telah saya lakukan sampai saat ini. Bukan kesempurnaan yang ada di jalan panggilan saya ini, namun ketidaksempurnaan yang menyadarkan saya pada kebaikan Allah. Jika saya diberikan kesempurnaan, mungkin saja saya sudah lupa diri dan tidak menyadari segala kebaikan Allah. Ini semua karena kebaikan-Nya dan ordo yang selalu bersama-sama dengan saya.
Bejana Tanah Liat yang Tidak Sempurna
Saya menyadari bahwa apa yang saya wartakan, baik itu di dalam dunia pastoral komunitas, pastoral di luar komunitas, ataupun di dunia virtual seringkali hanya demi menyenangkan sesama saya. Saya belum sampai pada kesaksian yang nyata tentang hidup saya sebagai seorang Krosier. Anugrah yang Allah berikan belum terolah dan terproses secara matang dan berdaya Roh yang nyata. Apa yang menjadi kesenangan diri saya, itulah yang saya wartakan. Kaul-kaul itu sebenarnya harus membuat diri saya semakin mengesampingkan kesenangan pribadi. Jalan hidup sebagai Krosier adalah sebuah jalan untuk mengantarkan sesama pada Allah. Dan terutama membuat saya semakin dekat dengan- Nya.
Dalam segala dinamika kehidupan berkaul itu, saya sungguh menyadari bahwa saya berkaul di hadapan Allah sebagai bentuk bakti saya dan cinta saya kepada-Nya. Saya berani mengatakan bahwa selama 7 tahun hidup memakai jubah OSC dan berelasi secara intim dengan Allah merupakan sebuah kebahagiaan bagi saya. Walaupun saya adalah bejana dari tanah liat yang rapuh, dan kerapkali berusaha untuk membentuk bejana itu dengan sendirian, saya merasa tidak mampu dan perlu Allah yang menjadi pembuat bejana yang utama dalam hidup saya. Kerapuhan ini membuat saya sadar bahwa harus selalu berhati-hati tanpa terkurung pada ketakutan, dan selalu bebas tanpa perlu menjadi pemberontak.
Kesegaran dalam Delapan Hari di Civita: Buah-Buah Retret Persiapan Kaul Kekal
Saya merasa bersyukur mendapatkan kesempatan untuk mempersiapkan diri dalam berkaul kekal selama delapan hari ini. Saya merindukan kesempatan untuk berada dekat dan intensif dengan Allah. Di awal retret, saya memohon rahmat kelimpahan inspirasi dan kesegaran rohani yang mendalam. Dalam membangun disposisi batin di awal retret, saya menyadari sungguh bahwa ini merupakan kesempatan baik untuk lebih banyak menerima apa pun yang akan diberikan oleh- Nya.
Dalam sebuah doa, saya merasakan sungguh bagaimana alam itu sungguh menginspirasi dan mengingatkan diri saya akan arti dari menikmati apa yang disediakan Allah. Rasa syukur menjadi sebuah keutamaan dalam menciptakan kedamaian hati dan pikiran. Saya merasa relaks di tengah hamparan alam yang begitu tenang. Walaupun udara cukup panas, namun angin yang bertiup begitu kencang sehingga terasa menyejukan. Alam mengajarkan keseimbangan dalam hidup. Walaupun ada dualisme, semua itu akan menuju pada kesatuan. Saya menyadari bahwa retret ini harus berjalan secara alami. Doa tidak diintervensi oleh pikiran yang liar dan hati harus terarah kepada Allah.
Kini saya merasakan panggilan Allah yang memang sudah ada dari sediakala, biarkanlah Ia yang menumbuhkannya, ikut menjaganya agar selalu hidup, menggembangkannya agar semakin luas dan menggerakannya agar sesuai kehendak-Nya. Kebebasan, natural, dan pertumbuhan harus ada dalam panggilan diri saya. Bukan rancanganku, melainkan rancangan-Mu.
Ketika saya diajak untuk mengingat kembali orang-orang yang berperan dalam panggilan saya. Ada perasaan gembira yang saya rasakan. Salah satunya karena perjumpaan dengan Bruder Razak, SJ yang merupakan bapa rohani dan formator saya ketika di Seminari Mertoyudan. Perjumpaan yang sederhana ini mampu membangkitkan semangat panggilan yang dulu pernah berkobar. Inilah salah satu daya jiwa yakni memori yang membangkitkan suatu gerakan baru dalam diri saya. Saya ingin menciptakan kembali momen berkobarnya panggilan hidup saya. Dalam hal ini, saya mensyukuri rancangan Allah ini, Ia memiliki cara untuk membuat diriku sadar dan ingat akan saat-saat begitu bersemangat dalam panggilan. Ini menjadi suatu kesegaran baru dalam persiapan untuk sehidup dan semati dengan ordo.
Ketika merumuskan ulang tujuan hidup berdasarkan inspirasi dan ajaran dari Ignatius Loyola, dalam hidup ini, saya ingin merasakan kebahagiaan kekal, hidup bermakna, dan menjadi jembatan keselamatan bagi semua makhluk. Ketika saya mengungkapkan ini, rasa-rasanya hal ini hanya sebuah rumusan atau susunan kata-kata indah, namun bagi saya pribadi rumusan ini begitu bernilai. Memang, saya menyadari pula bahwa pada realitanya, tujuan hidup saya ini dirusak oleh hasrat negatif dan tidak teratur. Saya lebih betah untuk hidup dalam kenyamanan, keamanan, ketenaran, kepuasan semu, dan kesombongan hidup. Dalam hal ini, saya perlu berjanji di hadapan Allah dan sesama untuk mengingkari hasrat itu dan menggunakannya demi keselamatan diri saya.
Kaul ketaatan, kaul kemiskinan, dan kaul kemurnian merupakan ikrar untuk ingkar terhadap kesemuan hidup yang digerakan oleh hasrat tidak teratur itu. Untuk itulah, rumusan tujuan hidup yang begitu berat bahasanya ini menjadi sebuah ideal yang bernilai untuk hidup saya.
Dalam sebuah pengalaman doa, saya merenungkan peristiwa ketika para murid diminta oleh Yesus untuk bertolak ke bagian danau yang lebih dalam. Ketika kontemplasi, saya menempatkan diri sebagai seorang murid yang tidak hanya bertolak ke tempat yang lebih dalam itu, namun saya juga turun ke danau dan berenang ke kedalaman itu. Dalam refleksi setelah kontemplasi itu, saya menuliskan: “Menyelam ke bagian yang lebih dalam, terasa tenang, gelap, arusnya begitu terasa, ada ketakutan bahwa saya tidak bisa kembali ke permukaan, tetapi saya tetap percaya kepada-Nya, Dia itu ada dan bersama saya. Berenanglah dengan bebas dengan penuh kepercayaan bahwa diri saya memang bisa berenang, saya sudah berlatih lama, saya tahu mana yang dalam dan mana yang dangkal. Kalau di tempat yang dalam saya harus bagaimana, saya paham. Dan saya mengerti keterampilan yang diasah berkat karunia Tuhan itu memang dapat membuat saya percaya diri dan percaya bahwa Dia itu ada bersama saya ketika keterampilan yang saya miliki mungkin tidak berarti lagi pada suatu kondisi tertentu. Kristus, terimakasih Engkau telah memanggil diriku dan percaya kepada diriku.
Engkau mengajarkanku bagaimana harus berenang dan tidak takut pada kedalaman. Tolonglah diriku ketika aku takut menyelam dan salah arah dalam berenang. Aku melepaskan segalanya agar dapat menyelam ke tempat yang lebih dalam dengan bebas”.
Kemudian, ketika merefleksikan tentang rasa syukur atas pemberian Allah. Dalam refleksi saya menuliskan: “Yang pertama-tama kusyukuri dalam perjalanan panggilan ini adalah Allah memberikan dan mempersiapkan segalanya bagi diriku. Dia memberikan talenta yang berlimpah, kesempatan untuk bertobat yang berulang-ulang, dan rahmat kebahagiaan ketika diriku mempersembahkan semuanya ini kepada-Nya. Yang selanjutnya harus kusyukuri adalah apa pun yang menjadi kehendak-Nya demi kebaikan ordo dan Gereja, aku terima, dan aku usahakan sebagai bentuk rasa syukur. Aku perlu bersyukur yang tidak sekadar diucapkan dan dicecap dalam hati, namun kuwujudkan secara nyata agar rasa syukur itu berbuah baik dan manis demi kebaikan bersama”.
Ketika mengkontemplasikan perisitiwa kelahiran Yesus. Saya tertarik dengan suatu gambaran yang muncul dalam doa kontemplasi itu, yakni saya mengambil sebuah kain lap sebagai bentuk persembahan kepada Keluarga Kudus. “Aku tidak tahu harus berbuat apa, tetapi aku mengambil sebuah kain lap dan membersihkan semua barang-barang termasuk hadiah terbaik dari orang-orang yang datang kepada Keluarga Kudus itu. Saya tahu barang-barang itu kotor karena dibawa dari tempat yang jauh. Saya juga membersihkan beberapa barang yang ada di sekitar palungan bayi Yesus. Yusuf dan Maria begitu bahagia dan tidak menyangka bahwa saya akan melakukan itu dan memang sangat
berguna. Mereka bahagia atas tindakan kecil, sederhana, dan tidak terduga itu. Dalam kebingungan dan ketidakberdayaan, saya selalu mendapat inspirasi, ada saja ide di dalam diriku untuk berbuat sesuatu yang baik dan berguna bagi sesama. Semoga dalam hidupku ini Allah selalu menurunkan inspirasi Ilahi agar tindakanku selalu mencerminkan kehendak Allah yang mungkin belum disadari oleh orang lain”.
Dalam kontemplasi kisah panggilan para murid, Yesus dengan wajah-Nya yang sangat saya sukai dalam berbagai kontemplasi saya, Dia memanggil saya dan mengenali diri saya. Saya merasa senang ketika dapat berjumpa dengan Yesus yang menampakkan wajah yang berbeda. Mungkin saja dalam doa-doa saya selama ini saya tidak dapat menyadari wajah Yesus, ketika dalam retret ini saya melihat dan terpesona akan wajah-Nya, di sinilah kesadaran akan pengenalan terhadap Dia menjadi sebuah semangat baru yang juga timbul bersama perasaan senang. Dia mengenali diriku, Dia mencintaiku.
Saya menyadari bahwa kesegaran selama delapan hari ini merupakan anugerah dari Allah. Saya memohon rahmat dan Ia mendatangkannya untuk saya. Saya menjadi sadar bahwa diri saya harus diwarnai oleh rahmat Allah karena dari hal itulah diri saya menjadi semakin berarti bagi diri sendiri dan bermakna bagi sesama saya. Rahmat Allah menjadi diri saya sadar atas apa yang saya rindukan pada-Nya. Rahmat ini menjadi kekuatan ketika diri saya diterpa kelemahan. Saya mohon rahmat kekudusan dan ketulusan hidup dalam menjalani hidup berkaul agar apa yang saya jalani ini sungguh saya sadari sebagai cara untuk mencapai tujuan hidup saya.
Untuk itu, ketiga kaul yang saya ikrarkan merupakan sebentukkesadaran diri akan upaya membuka hati terhadap kehadiran Allah. Dalam menghidupinya, saya harus semakin menjadi pribadi yang transparan artinya, Allah itu semakin tampak dari aktualisasi diri saya. Ketika saya ada, Dia hadir dan terasa nyata untuk diri saya sendiri dan sesama saya
Allah Itu Memang Baik
Ketika saya mau berangkat ke Seminari Menengah Mertoyudan untuk pertama kalinya, seorang kerabat mengatakan bahwa diri saya harus membaca dari Roma 8: 28. Kemudian dia mengatakan kepada saya bahwa Allah itu akan sangat baik kepada kamu yang dipanggil oleh-Nya untuk mencintai-Nya melebihi dari segala apa pun. Saat itu saya tidak mengerti apa arti dari ayat yang dikatakan seorang kerabat dari keluarga saya itu. Sampai hari-hari saya di seminari, ayat tersebut menjadi sebuah ayat misteri dan sekaligus favorit karena memuat kata-kata tentang panggilan dan kebaikan. Dua kata yang sangat saya suka untuk sekadar didengar ataupun direnungkan. Dia baik kepada saya maka Dia memanggil saya. Ketika Dia memanggil saya, Dia selalu mendatangkan kebaikan bagi diri saya.
Ayat inilah yang akhirnya saya pakai sebagai tema kaul kekal. Saya merefleksikan panggilan hidup saya dengan memusatkan diri pada kata kebaikan dan panggilan. Kebaikan dan panggilan. Kebaikan karena saya sungguh merasakan hal itu dari Allah Dia itu baik dalam segala hal terhadap diri saya, juga ketika diri saya tidak baik di hadapan-Nya. Peristiwa kasih yang saya alami adalah bukti dari kebaikan Diri-Nya. Juga, peristiwa sedih dalam hidup saya adalah bentuk kebaikan dari Diri-Nya. Dia mau membentuk saya menjadi pribadi yang baik melalui setiap hal yang Dia ciptakan dalam kehidupan saya.
Titik balik kesadaran diri saya ketika mampu mensyukuri setiap peristiwa hidup, yakni ketika menjalani pengolahan di Salatiga bersama Romo Margo, MSF merupakan bentuk kebaikan Allah. Ketika saya sudah tidak mengenali lagi diri saya sendiri, tidak dapat menyadari apa yang ada dalam pikiran saya, dan tidak merasakan kehadiran-Nya di dalam doa- doa saya, Allah itu baik, dia memberikan kesempatan bagi diri saya untuk disapa oleh sosok pembimbing yang sungguh menginspirasi diri saya. Di situlah saya merasakan bahwa Allah itu baik kepada saya. Kebaikan-Nya tidak dapat saya jelaskan, tapi selalu saya rasakan.
Saya juga merasakan kebaikan-kebaikan Allah dalam hidup saya sebagai sumber semangat dan inspirasi untuk menjadi sehati-sejiwa sampai mati di OSC. Saya semakin mengenal OSC, dalam kelebihan dan kekurangannya. Saya juga memiliki idealisme terhadap ordo ini agar OSC semakin menjadi relevan bagi kehidupan sesama. Saya mencintai ordo ini sebagaimana ordo selalu terbuka kepada saya ketika saya jatuh dan bersama-sama dengan saya dalam usaha bangkit dari segala keterpurukan. Saya bahagia di ordo ini karena saya menjadi semakin sehati dan sejiwa untuk menuju Allah.
Allah turut bekerja untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi Dia (Roma 8:28), begitu banyak kebaikan yang Dia berikan kepada saya dan untuk itu saya harus mensyukurinya. Kendati
saya tidak baik kepada-Nya, ia tetap mendatangkan kebaikan melalui orang-orang yang mencintai saya. Kendati saya tidak mengasihi sesama saya, Dia tetap menunjukan kasih-Nya. Banyak sekali pertolongan, pengampunan, dan kasih yang saya rasakan selama perjalanan panggilan sampai hari ini. Saya hanya bisa bersyukur karena kasih Allah dan kehendak-Nya tidak dapat saya rasakan ketika saya menuntut-Nya.
Ada dorongan kuat dari dalam diri saya untuk semakin mencintai ordo ini dan mencintai panggilan dari-Nya. Hanya dengan cara mengasihi Dia, saya benar-benar terlibat dalam mendatangkan kebaikan kepada sesama saya. Artinya, saya menjadi diri saya yang seutuhnya, sadar untuk mencapai optimalitas, dan berjuang untuk mengasihi secara tulus, hanya dengan jalan panggilan ini. Saya mengenal OSC pada saat kecil dan begitu merindukan akan menjadi seorang OSC sejati nantinya. Kini, saya menjadi pribadi yang harus seperti yang saya rindukan ketika kecil itu. Spirit untuk menjadi seorang Krosier sejati adalah kekuatan untuk mengalahkan diri sendiri. Idealisme memang ada, namun saya harus realistis, menjadi OSC dan menjadi diri sendiri, dua hal yang harus diseimbangkan dan saling melengkapi.
Anugerah ini hasil perjuangan bersama antara diri saya, keluarga, dan Dia yang selalu bekerja untuk mendatangkan kebaikan. Dia yang selalu baik dan menunjukkan kepada saya bagaimana harus menjadi bukan yang terbaik, namun selalu lebih baik. Kini saya harus bekerja bersama-Nya untuk mendatangkan kebaikan bagi ordo karena OSC pun selalu mencintai dan menerima saya. Semoga ini semua merupakan awal yang baik untuk perjalanan panggilan yang lebih menantang, dan suatu kebaruan diri untuk menjadi semakin matang, OSC yang bukan setengah matang.
Perayaan Kaul Kekal: 28 Agustus 2021
Ini merupakan peristiwa rahmat, sebuah peristiwa penting dalam sejarah hidup saya ketika saya mengucapkan janji akan sehidup semati dengan Ordo Salib Suci. Saya menyadari bahwa ketika apa yang saya ucapkan, saya memikirkan apa yang saya janjikan, dan saya merasakan rahmat Allah ketika saya memutuskan untuk berkomitmen kepada-Nya. Dalam doa berkat meriah kaul, ada kata-kata: “Semoga dalam pengadilan terakhir, Engkau mengganjarnya dengan kelimpahan rahmat…”, kurang lebih kalimatnya seperti itu, dan saya merasakan sungguh rahmat Allah akan bekerja dalam diri saya yang tidak sempurna, yang seringkali jatuh kepada kesalahan diri saya.
Tahun 2014 ketika saya menjadi misdinar dalam Misa Kaul Kekal, saya begitu merinding, ketika mendengarkan kata “sampai mati” dalam ritus janji kaul. Saya berpikir apakah saya akan sanggup sampai di titik tersebut? Apakah akan ada kebaikan Allah bagi diri saya agar saya dapat mengucapkan kata-kata tersebut? Lima tahun berselang, di titik ini, saat ini, saya bersaksi atas kebaikan Allah yang sedang dan telah terjadi serta pasti akan terjadi lagi. Dia baik kepada diri saya, Dia mencintai saya, dan saya mau mencintai Diri-Nya. Saya bersyukur di dasar kedalaman hati saya atas peristiwa rahmat ini. Titik ini bukanlah sebuah pencapaian, ini merupakan kesempatan baru untuk lebih menyadari kebaikan Allah dan menjadi seorang yang terpanggil yang hidupnya baik di hadapan Allah.
In Cruce Salus+
No responses yet