Sharing Pengalaman Tahun Orentasi Pastoral
Fr. Leo Kristian Eka Putra Diarsa, OSC
Selasa, 7 September 2021, kira-kira pada pukul 11.20 WIB, saya menginjakan kaki untuk pertama kali di Sumatra Utara. Tiba di bandara Kualanamu, saya disambut oleh Pastor Edu, OSC dan Pastor Theos, OSC. Saya diutus untuk membangun hidup bersama dan belajar berpastoral di komunitas Tebing Tinggi.
Hawa yang panas menjadi kesan pertama ketika saya tiba. Tentu saya agak kaget dengan hawa panas tersebut karena sudah lima tahun mengalami masa formasi di tempat yang sejuk bahkan dingin. Namun demikian, keramahan para pastor di Tebing Tinggi sangat membantu saya dalam proses adaptasi di hari-hari awal. Keramahan ini juga tampak dalam umat di paroki yang saya jumpai di beberapa hari berikutnya bahkan sampai hari ini.
Untuk menuliskan pengalaman TOP lebih rapi selanjutnya, saya akan membagi pengalaman tersebut dalam dua lingkup, yakni komunitas dan paroki. Pembagian ke dalam dua lingkup ini kiranya sejalan dengan karakter masa Formasi Tahun Orientasi Pastoral dalam Pedoman Formasi OSC, yakni terbangunnya kesadaran bahwa komunitas adalah anugerah Allah, tempat kerasulan yang paling langsung, serta tempat untuk menimba inspirasi pastoral yang akan dibawa ke medan pastoral. Dengan kata lain, komunitas adalah fondasi pertama dan utama untuk berpastoral bagi umat di mana pun setiap frater sedang belajar pastoral.
Komunitas
Dalam lingkup komunitas, upaya membangun hidup bersama itu tampak dalam Kapitel Komunitas yang diadakan rutin setiap satu bulan. Kapitel Komunitas dilaksanakan pada rabu pertama dalam bulan, dari pukul 09.00 WIB. Sudah barang pasti dalam Kapitel Komunitas, terutama di Tebing Tinggi pembicaraan sering menyangkut hal-hal praktis menyangkut kebutuhan komunitas, masalah-masalah pastoral dan pendampingan umat. Pembicaraan yang menyangkut masalah pastoral dan pendampingan umat selalu diarahkan pada kesepakatan bersama. Dengan kata lain, setiap orang dalam komunitas ‘satu suara’ dalam menanggapi kebutuhan pastoral yang terjadi di lapangan.
Lalu bagaimana dengan sharing pengalaman yang terjadi di medan pastoral? Sharing pengalaman juga dibagikan dalam Kapitel Komunitas, kendati tidak banyak dan detil. Sharing pengalaman selebihnya selalu dibicarakan saat makan bersama. Saya memahami sepertinya ada efisiensi terhadap waktu dan pembahasan dalam Kapitel Komunitas. Selain itu, pembicaraan di meja makan menjadi waktu bagi setiap anggota komunitas memberikan tanggapan dan solusi terhadap apa yang terjadi di medan pastoral.
Di sisi lain, pengalaman berkomunitas di Tebing Tinggi tidak melulu menyangkut perkara praktis dalam medan pastoral. Upaya membangun komunitas itu juga tampak dalam kegiatan olah rohani, yakni doa-doa bersama yang rutin dilakukan, misalnya ibadat Completorium yang wajib dilakukan setelah makan malam. Akhir-akhir ini juga sedang dibiasakan untuk mengadakan ofisi pagi bersama, kendati tidak mudah karena ofisi dilakukan pasca perayaan Ekaristi pagi, di mana kami juga berjumpa dengan umat untuk ramah tamah setelah misa.
Upaya membangun hidup bersama di komunitas Tebing Tinggi juga diperkaya melalui hobi-minat pribadi. Misalnya ini tampak dalam kegiatan olahraga bersama, entah itu jalan bersama mengitari jalan raya di sekitar paroki atau bermain badminton. Selain itu, membangun komunitas melalui kegiatan pribadi itu tampak dalam peran yang mungkin menurut banyak orang remeh-temeh. Misalnya untuk saya diberi peran untuk sekadar memberikan makan bagi ikan nila dan lele secara rutin, kendati ada kalanya saya lupa memberi makan, serta membeli pakan ikan-ikan tersebut secara rutin juga. Apa yang jadi kegiatan pribadi tersebut akhirnya kembali bagi komunitas.
Belajar membangun hidup bersama tidak melulu diupayakan dalam lingkup komunitas Tebing Tinggi saja. Saya juga belajar hidup bersama dengan anggota komunitas yang berada di tempat lain, yakni komunitas Sei Rampah dan Tanjung Selamat. Beberapa kegiatan seperti
Beberapa kegiatan seperti
Hari Raya Salib Suci dan Pesta Imamat Pastor Tono, OSC pada Desember tahun lalu menjadi salah satu bentuk belajar membangun hidup bersama lebih luas lagi. Selain beberapa kegiatan formal tersebut, upaya membangun hidup komunitas diupayakan melalui kunjungan ke rumah beberapa pastor yang ada di sekitar sini.
Sambil menyelam minum air, sambil rekreasi ada beberapa rumah para pastor saya singgahi. Melalui inisiatif Pastor Efron, saya bersama beliau, seorang anak pastoran dan seorang OMK dari Sei Rampah mengadakan kunjungan ke rumah beberapa pastor OSC pada 2- 3 Januari 2022. Ada rasa antusias dan penasaran ketika ditawari untuk rekreasi bersama ini. Apalagi saya tidak begitu tahu banyak tentang tempat-tempat yang disinggahi, yakni Pematang Siantar, Dolok Sanggul, Pakat, Barus, Sibolga, Parapat dan beberapa tempat lainnya. Namun lebih dari sekadar rekreasi, pertama-tama saya bersyukur ditawari kesempatan untuk mengenal tempat-tempat yang saya lalui, kedua saya juga bersyukur atas sukacita dan nilai kekeluargaan yang dialami ketika berkunjung ke rumah para pastor.
Paroki
Dalam lingkup paroki, ibadat sabda setiap Minggu ke stasi adalah hal wajib yang saya lakukan. Dibandingkan dengan durasi ibadat sabda yang berlangsung kira-kira 40- 50 menit, saya mengalami bahwa akumulasi durasi perjalanan (pergi dan pulang) ke stasi jauh lebih lama. Keluar dari lingkungan kota, masuk ke dalam hutan sawit atau hutan karet, melalui jalan aspal, berbatu dan berlumpur, curam dan landai adalah pengalaman yang menggelitik perut dan menarik sekaligus menantang bagi saya. Tidak lupa juga, seringkali ketika masuk
hutan sawit atau karet, ada banyak lembu tidur menghadangi jalan.
Perjumpaan dengan umat di stasi juga memberikan tantangan sendiri bagi saya. Saya sering ditantang untuk menurunkan idealisme diri akan ketepatan waktu. Tidak semua umat stasi selalu disiplin untuk pergi ke gereja. Ada kalanya saya harus menunggu 30 menit dari waktu yang telah disepakati bersama, yakni jam 10.00. Ada kalanya juga ketika hujan saya harus menunggu hingga jam 11.00 untuk memulai ibadat sabda.
Tentu ada banyak pertanyaan dan pikiran pribadi ketika berhadapan dengan pengalaman di atas. Namun lebih daripada sekadar memaksakan hal ideal, saya mesti berdamai dengan situasi yang ada. Saya selalu berpikir bahwa ini adalah pengalaman pertama di stasi ini. Yang penting adalah pertama, pelayanan dapat berjalan dengan baik dan kerinduan umat untuk menerima komuni dapat dipenuhi. Kedua, membiasakan hal yang benar bagi umat di stasi, yakni tentang kedisiplinan waktu lewat nasihat yang bisa saya berikan.
Pengalaman berkunjung ke stasi tidak melulu karena perayaan Sabda. Saya juga memberikan latihan organ bagi para organis di beberapa stasi sejak Januari 2022. Latihan tersebut dilakukan secara rutin setiap Kamis dan Jumat. Sejauh ini sudah ada lima stasi yang ikut latihan bersama.
Melalui pengalaman memberikan latihan organ, saya harus belajar menyesuaikan diri dengan hal- hal yang terjadi di medan pastoral untuk kesekian kalinya. Dengan
kata lain, saya tidak dapat memindahkan apa yang saya pelajari selama ini secara serampangan ke medan pastoral. Apa yang saya pahami dan ketahui tentang permainan organ butuh disesuaikan secara kreatif ketika berhadapan dengan situasi lapangan, tidak serta merta saya lempar secara mentah bagi para organis di stasi. Oleh karenanya, pada pertemuan pertama bersama para organis, lebih banyak dialog yang saya lakukan bersama para organis ketimbang latihan. Akhirnya berdasarkan apa yang menjadi kebingungan dan kebutuan mereka, saya bisa menyusun dan memberikan satu modul praktis yang dapat dipakai untuk latihan bersama di pekan-pekan berikutnya.
Pengalaman berikut yang tak kalah menarik bagi saya adalah pengalaman mendampingi misdinar. Kelompok misdinar mulai ditugaskan kembali sejak 24 Desember 2021 dan sudah vakum sejak Maret 2020 karena pandemi. Ada tantangan sebuah tantangan di awal ketika saya memberikan pendampingan. Banyak di antara mereka yang hari ini terhitung sebagai senior sudah lupa tata gerak sehingga tidak dapat membagikan apa yang mereka dapatkan dulu kepada para junior. Namun demikian, sisi positifnya adalah saya dapat melatih mereka dari nol sehingga tidak perlu menunggu dan mengamati hal-hal yang perlu dibenahi.
Penutup
Setelah melihat kembali pengalaman yang telah lalu, saya sangat bersyukur atas perjalanan Tahun Orientasi Pastoral di paroki Tebing Tinggi. Kendati di awal, ada keraguan dan keengganan untuk meninggalkan Skolastikat. Proses adaptasi, pertemuan dan penerimaan dengan orang-orang baru di sini, terutama dukungan dan arahan para pastor di komunitas patut disyukuri sebagai buah rohani yang mendukung panggilan saya.
Selain itu, saya juga bersyukur melalui pengalaman Tahun Orientasi Pastoral di tempat ini, saya belajar memahami teman-teman komunitas Skolastikat yang berasal dari Sumatra, belajar tentang kebiasaan, tata bicara dan masih banyak hal lagi. Di sini saya belajar tentang kalian, belajar langsung dari sumbernya. Semoga dalam waktu ke depan, saya mampu untuk terus belajar, memahami dan mengembangkan apa yang saya dapatkan melalui proses Tahun Orientasi Pastoral di tempat ini.
No responses yet